Sumbangan dan Dana Kampanye: Permasalahan Domestik Mutakhir

Sumbangan dan Dana Kampanye: Permasalahan Domestik Mutakhir

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Politik Dalam dan Luar Negeri

Disusun oleh:

Dodi Andrian                        120180301008
Faisol Abdul Kharis              120180301009
Fautia Erfanisa                     120180301011
Mohammad Ali                     120180301015
Saifuli Sofiah                        120180301022

I.              PENDAHULUAN
Salah satu ciri negara demokrasi adalah melaksanakan pemilihan umum (pemilu) untuk sirkulasi kekuasaan dalam rangka rekruitmen untuk mengisi jabatan-jabatan publik. Menurut A.S.S Tambunan, Pemilihan umum merupakan sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat yang pada hakikatnya merupakan pengakuan dan perwujudan daripada hak-hak politis rakyat sekaligus merupakan pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat. kepada wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan. [1]
Dalam pelaksanaan pemilu, dibutuhkan dana yang sangat besar baik bagi penyelenggara pemilu maupun peserta pemilu. Dari sisi peserta pemilu, kandidasi dan mobilisasi dukungan menjadi aktivitas utama dari pemilu. Proses kandidasi dan mobilisasi dukungan ini kemudian sangat terkait dengan pengelolaan sumberdaya yang dimiliki oleh masing-masing peserta pemilu. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Alexander (1989, 9-23) bahwa peran dan fungsi dana dalam politik adalah bagaimana dana tersebut dimanfaatkan oleh para pasangan calon untuk mendapatkan pengaruh, untuk diubah menjadi sumberdaya dalam bentuk lain, atau untuk digunakan bersamaan dengan sumberdaya lain untuk mencapai kekuasaan politik. Pembiayaan pemilu juga terkait dengan upaya para peserta pemilu untuk mempengaruhi keputusan pemilih.[2]


Secara umum dana kampanye merupakan aktivitas yang mengacu pada penggalangan dana dan pengeluaran kampanye politik pada persaingan pemilu. Pada sisi pengumpulan dana kampanye, masalah mendasarnya berkaitan dengan kelangkaan sumber pendanaan, ketidaksetaraan terhadap akses pendanaan antar partai atau kandidat, serta sumbangan yang penuh kepentingan sehingga akan menimbulkan berbagai benturan dan pelanggaran dalam memperoleh dana kampanye.
Rumusan Masalah
1. Mengapa pasangan calon membutuhkan dana yang begitu besar pada saat pemilu?
2. Mengapa pasangan calon menerima sumbangan dana dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan adanya imbalan pada pihak tersebut?
3. Apa solusi agar praktek tersebut tidak terjadi lagi pada pemilu berikutnya?

PEMBAHASAN
1.1   Dana Kampanye Yang Besar
Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap pasangan calon (Paslon) membutuhkan dana yang besar untuk maju menjadi kepala daerah dan presiden. Hal ini disebakan karena adanya tahapan kampanye yang paling menguras dana peserta pemilu dengan tujuan sebagai berikut:
1.     Untuk menarik perhatian dari publik dalam hal ini masyarakat di daerah pemilihan, paslon tersebut harus mensosialisasikan dan mempromosikan dirinya dengan membuat baliho, selebaran, iklan di media massa maupun elektronik hingga melakukan survei yang membutuhkan dana yang sangat besar.
2.     Untuk menarik perhatian partai politik pendukung, paslon melakukan deal-deal politik yang memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak yang salah satunya adalah adanya “mahar” politik dengan besaran yang tidak sedikit tentunya. Walaupun sulit dibuktikan, hal ini bukan merupakan suatu hal yang tabu dikalangan partai politik.
3.     Tahapan kampanye merupakan tahapan termahal, walaupun politik uang secara terang-terangan dilarang, namun tak dapat dipungkiri kadang hal tersebut terjadi untuk menarik masyarakat agar memilihnya, mungkin tidak selalu dalam bentuk uang, bias berupa sembako, perbaikan srana dan prasarana di daerah pemilihnya seperti perbaikan jalan dan lain sebagainya. Hal tersebut jelas mebutuhkan dana yang tidak sedikit.
4.     Saat penghitungan suara dibutuhkan saksi-saksi ditiap-tiap TPS, hal tersebut juga membutuhkan dana yang tidak sedikit dimana setiap paslon akan mengeluarkn sejumlah uang untuk setiap saksi yang “rela” hadir untuk menyaksikan penghitungan suara.
5.     Jika terjadi sengketa diakhir pemilihan, setiap paslon melakukan persiapan dan pengawalan sengketa yang kemungkinan besar akan terjadi, dengan melakukan segala cara untuk mempengaruhi keputusan hakim atas sengketa pemilu tersebut.

1.2  Menerima Sumbangan Kampanye Dengan Pemberian Imbalan
Pada UU RI nomor 10 tahun 2016 Pasal 74 (1), Dana Kampanye pasangan calon yang diusulkan Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat diperoleh dari sumbangan Partai Politik dan/atau gabungan Partai Politik yang mengusulkan pasangan calon; sumbangan pasangan calon; dan/atau  sumbangan pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan perseorangan dan/atau badan hukum swasta [1].
            Perludem menyatakan bahwa Politik uang yang masih ditemukan dalam Pilkada diduga menjadi salah satu penyebab biaya Pilkada yang harus dikeluarkan oleh calon Kepala Daerah menjadi sangat besar. Hasil kajian Litbang Kemendagri menunjukkan bahwa untuk menjadi Walikota/Bupati dibutuhkan biaya mencapai 20-30 Milyar, sementara untuk menjadi Gubernur berkisar 20-100 Milyar. Hal yang sama diungkapkan oleh Dadang S Mochtar (mantan Bupati Karawang), bahwa untuk menjadi Bupati di Pulau Jawa biaya politik yang harus dikeluarkan mencapai Rp. 100 Milyar. Bahkan biaya untuk menjadi Kepala Daerah lebih besar apabila dibandingkan dengan biaya menjadi anggota dewan yang hanya mencapai Rp. 300 juta – 6 Milyar[2] . Besaran biaya yang dibutuhkan tidak seimbang dengan kemampuan yang dimiliki oleh para calon Kepala Daerah.   Adanya kesenjangan antara kemampuan keuangan para calon Kepala Daerah (cakada) dan biaya yang harus dikeluarkan membuka peluang cakada untuk mencari dan menerima dana tambahan.
Menurut Tjahyo Kumolo  bahwa saudagar politik lah yang akan berada di belakang calon Kepala Daerah. Padahal menerima sumbangan dalam bentuk dana kampanye merupakan salah satu bentuk material dari benturan kepentingan [3] . Benturan kepentingan didefinisikan sebagai situasi di mana seorang penyelenggara negara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya[4] . Salah satu penyebab benturan kepentingan adalah hubungan afiliasi. Besarnya biaya pilkada yang dibutuhkan dan kurangnya kemampuan finansial calon kepala daerah menyebabkan pasangan calon yang akan mengikuti pilkada menerima begitu saja sumbangan dana dari pihak-pihak yang akan meminta imbalan dari mereka apabila terpilih.

1.3  Solusi
Besarnya cost of fund / pendanaan kegiatan kampanye yang dibutuhkan para pasangan calon kepala daerah akan memicu timbulnya pelanggaran dalam mendapatkan dana kampanye salah satunya korupsi. Jika kita membandingkan kemampuan keuangan kepala daerah dengan pengeluaran selama kampanye, maka angka akan tidak seimbang. Pengeluaran dana kampanye tersebut digunakan untuk melakukan politik uang, jual beli ‘perahu politik’, hingga suara pemilih. Sistem pemilu proporsional terbuka setengah hati yang diloloskan Undang-Undang (UU) Pemilu, membuka peluang meloloskan kandidat yang memiliki dukungan massa seadanya, namun mempunyai kemampuan finansial yang tinggi untuk menjadi anggota parlemen. Penjelasan berikut ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi solusi untuk memperbaiki sistem pemilu di Indonesia.
Pengaturan mengenai pendanaan politik di Indonesia perlu dikaji ulang. Evaluasi terhadap UU Pemilu atau Pemilukada perlu dilakukan dalam pembatasan pengeluaran atau pembelanjaan dana kampanye[5]. Hal ini memungkinkan untuk mereduksi praktik korupsi politik dalam pemilu sehingga saat nanti terpilih tidak bekerja untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan untuk kampanye. Pengaturan dana kampanye perlu dipertegas terutama perizinan dalam Undang-Undang yang mengatur badan usaha swasta untuk memberikan sumbangan untuk dana kampanye akan membuka peluang korupsi dana pemilu.[6]
KPU dan Bawaslu baik di tingkat daerah hingga pusat harus bertindak secara tegas, teliti, dan cerdas dalam melihat laporan dana kampanye yang telah diserahkan oleh para calon nantinya. Selain itu, perlu dilakukannya audit keuangan parpol secara berkala, dan mewajibkan para calon untuk melaporkan hak kekayaan yang dimiliki saat mencalonkan diri menjadi cakada adalah poin yang perlu diperhatikan untuk meminimalisir terjadinya praktik koruptif akibat mahalnya biaya politik. Dalam membangun pemilu yang berintegritas maka penting untuk menjaga independensi penyelenggara dan pengawas, menindak tegas pelaku pelanggaran serta menutup ruang terjadinya praktek penggunaan sumber daya publik sebagai instrument pemenangan.
Partisipasi kritis warga negara dalam politik sangat dibutuhkan untuk membangun budaya anti korupsi.  Warga negara yang kritis politik akan memberikan suaranya dengan mengetahui terlebih dahulu kriteria kandidat calon yang dipilihnya. Pengetahuan yang dimiliki oleh warga negara menentukan kualitas pemilu yang diselenggerakan tidak hanya menghabiskan dana yang besar namun juga melahirkan wakil rakyat yang berkualitas. Oleh karena itu, pendidikan politik harus ditanamkan kepada seluruh warga negara Indonesia untuk menjadi pemilih yang kritis bukan pemilih yang pragmatis maupun oportunistik. Peran perguruan tinggi, masyarakat sipil, LSM, Ormas, sangat dibutuhkan untuk menciptakan pemilu yang berkualitas.

II.            PENUTUP
Dalam pelaksanaan pemilu, peserta pemilu/pasangan calon membutuhkan dana yang begitu besar untuk berbagai kepentingan terutama untuk kegiatan kampanye. Besarnya dana kampanye menimbulkan masalah yang berkaitan dengan sumber pendanaan termasuk sumbangan yang penuh kepentingan dengan asas imbalan kepada pemberi sumbangan. Evaluasi terhadap pendanaan pemilu di Indonesia sangat diperlukan agar praktek kecurangan pada pemilu tidak terulang kembali.

DAFTAR REFERENSI
Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Jawa Timur. 2015. Laporan Dugaan Pelanggaran dalam Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Serentak Tahun 2015
Badan Pengawas Pemilihan Umum. 2018. Pembiayaan Pemilu di Indonesia. Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia.
Badoh, I. Z. F., & Dahlan, A. 2010. Korupsi Pemilu di Indonesia. Indonesia Corruption Watch.
Jasin, Johan. 2016. Hukum Tata Negara Suatu Pengantar. Yogyakarta : Budi Utama
Komisi Pemberantasan Korupsi. Kajian Penanganan Konflik Kepentingan (Conflict of Interest). Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK.
Qodir, Z. 2014. Politik Uang Dalam Pemilu-Pemilukada 2014: Modus dan Resolusinya. Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah8(2), 39-54.
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Wibowo, Pramono Anung.2013. Mahalnya Demokrasi Memudarnya Ideologi Potret Komunikasi Politik Legislator-Konstituen. Jakarta: Kompas Penerbit Buku.


[1] undang-undang republik indonesia nomor 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi undang-undang.
[2] Wibowo, Pramono Anung.2013. Mahalnya Demokrasi Memudarnya Ideologi Potret Komunikasi Politik Legislator-Konstituen. Hal 286.
[3] Kajian Penanganan Konflik Kepentingan (Conflict of Interest). Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK. Hal 17.
[4] Ibid, Hlm 10
[5] Qodir, Z. 2014. Politik Uang Dalam Pemilu-Pemilukada 2014: Modus dan Resolusinya. Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah8(2), 39-54.
[6] Badoh, I. Z. F., & Dahlan, A. 2010. Korupsi Pemilu di Indonesia. Indonesia Corruption Watch.


[1] Johan Jasin. 2016. Hukum Tata Negara Suatu Pengantar. Hlm 139.
[2] Badan Pengawas Pemilihan Umum. 2018. Pembiayaan Pemilu di Indonesia. Hlm 2
Sumbangan dan Dana Kampanye: Permasalahan Domestik Mutakhir Sumbangan dan Dana Kampanye: Permasalahan Domestik Mutakhir Reviewed by disment_idu9 on February 10, 2019 Rating: 5

1 comment:

Gallery

Powered by Blogger.