Permasalahan Dana Kampanye Pilkada dari Sudut Pandang Politik Dalam dan Luar Negeri Indonesia


TUGAS MATA KULIAH POLITIK DALAM DAN LUAR NEGERI


Dosen:
Mayjen TNI (Mar/Pur) Dr. Ir. Syaiful Anwar, MBus, MA
Kolonel Kes Dr. IDK Kerta Widana, SKM., MKKK



Disusun oleh:
Kelompok 1
1. Kristiyono                                   (120180301012)
2. Novita Agatha Nainupu              (120180301016)
3. Nurul Safitry                               (120180301020)
4. Oktavia Putri Rahmawati           (120180301021)
5. Taufiq Prasetyo                           (120180301025)


PROGRAM STUDI MANAJEMEN BENCANA
FAKULTAS KEAMANAN NASIONAL
UNIVERSITAS PERTAHANAN
BOGOR 2018
Pertanyaan:
1.         Mengapa para paslon tersebut memerlukan dana yang begitu besar?
2.         Mengapa mereka menerima begitu saja sumbangan dana dari pihak-pihak yang akan meminta imbalan dari mereka apabila mereka terpilih?
3.         Apa saja solusi yang saudara tawarkan agar hal tersebut tidak terjadi lagi pada pilkada berikutnya di Indonesia?

Jawab
Mengapa para paslon tersebut memerlukan dana yang besar
Pemilihan kepala daerah di Indonesia saat ini dilakukan secara langsung oleh masyarakat daerah administratif setempat yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara bersama dilakukan pemilihan wakil kepala daerah Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dimaksud adalah:
  1. Tingkat Provinsi Gubernur dan wakil gubernur
  2. Tingkat Kabupaten Bupati dan wakil bupati, dan
  3. Tingkat Kota Wali kota dan wakil wali kota
Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) namun sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Pada tahun 2011, terbit undang-undang baru mengenai penyelenggara pemilihan umum yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Di dalam undang-undang ini, istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dengan adanya undang-undang tersebut maka menuntut para Paslon untuk memperkenalkan diri didepan masyarakat di wilayahnya sehingga dikenal dan bisa menyampaikan visi dan misinya apabila terpilih. Dalam pemilu kepala daerah tidak terlepas dari peran partai politik yang mengusung paslon tersebut. Untuk melaksanakan kampanye maka dibutuhkan anggaran yang tidak sedikit,

Meskipun telah diatur dalam peraturan KPU sumbangan dana kampanye yang berasal dari badan hukum swasta dan partai maksimal sebesar Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah. Sedangkan sumbangan dari pihak perseorangan maksimal sebesar Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah). Batasan ini sesuai dengan Peraturan KPU 5 tahun 2017 tentang Dana Kampanye Peserta Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Atau Walikota dan Wakil Walikota. Pasal 7 ayat 1 sampai 3, berbunyi:
(1) Dana Kampanye yang berasal dari Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), nilainya paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap Partai Politik selama masa Kampanye.
(2) Dana Kampanye yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a, nilainya paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) selama masa Kampanye.
(3) Dana Kampanye yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok atau badan hukum swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b dan huruf c, nilainya paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) selama masa Kampanye.
Namun pada pelaksanaan anggaran yang dikeluarkan dalam kampanye pemilihan kepala daerah lebih besar dari ketentuan yang sudah diatur dalam Peraturan KPU tersebut. Hal ini tidak terlepas dari besarnya ambisi para paslon untuk mendapatkan dukungan sebanyak mungkin dengan melakukan kampanye secara terbuka maupun secara sembunyi-sembunyi atau dikenal dengan istilah “Black campaign”.
Dalam pelaksanaan kampanye para paslon tidak pernah melakukan sendiri, mereka memiliki tim sukses sebagai pembantu dalam menyampaikan visi dan misi paslon tersebut. Dengan demikian kebutuhan anggaran dalam mengumpulkan masa sebagai upaya mendapatkan dukungan semakin besar karena tidak menutup kemungkina tim sukses yang dibentuk dari masing-masing paslon harus mengeluarkan anggaran untuk massa yang dikumpulkan. Semua biaya yang berkaitan dengan kampanye dibebankan kepada masing-masing paslon.

Mengapa Paslon menerima begitu saja sumbangan dana dari pihak-pihak yang akan meminta imbalan dari mereka apabila mereka terpilih
Dengan kebutuhan anggaran yang besar maka tidak mungkin para paslon tidak menerima sumbangan dari pihak partai politik maupun perorangan yang ada kepentingan. Meskipun telah diatur dalam Peraturan KPU masalah sumbangan dana kampanye paslon kepala daerah. Hal ini sesuai dengan Peraturan KPU No 5 Tahun 2017 Pasal 8 ayat 4 dan 5 tentang Dana Kampanye Peserta Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Berikut berbunyi:
(4) Penerimaan sumbangan Dana Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan dengan cara memindahkan dana dari nomor rekening penyumbang ke Rekening Khusus Dana Kampanye disertai identitas penyumbang sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Identitas penyumbang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa surat keterangan dari bank yang bersangkutan.
Namun pada kenyataannya banyak kepentingan politik maupun perorangan yang memanfaatkan paslon dengan memberikan dukungan anggaran yang besar dengan mengaharapkan suatu jabatan ataupun kemudahan dalam mendapatkan kepentingan individu atau kelompoknya. Sumbangan tersebut dialakukan dengan harapan adanya hutang budi dari paslon terhadap penyumbang, sehingga pada saat terpilih akan memberikan kemudahan dan memberikan jalan terhadap kepentingan yang diharapkan penyumbang tersebut.

Apa saja solusi hal tersebut tidak terjadi pada pilkada di Indonesia
Tahap kampanye merupakan tahap yang juga sangat sarat politik uang. Dalam berbagai peristiwa kampanye, sering terjadi aksi-aksi sumbangan yang dilakukan para kandidat dan simpatisannya, seperti misalnya bagi-bagi uang, sembako, pakaian, proyek, dan lain sebagainya. Belum lagi aksi ‟curi start; lewat kampanye terselubung yang dilakukan para calon seperti peresmian proyek, temu kader, memsponsori berbagai kegiatan sosial dan budaya seperti bhakti sosial dan seminar, atau pun penyelipan profile calon dalam Kitab Suci yang disumbangkan pada masyarakat dan jajaran birokrat daerah. Semua fenomena tersebut, bukan saja melulu karena adanya niat buruk para calon dan tim suksesnya, tetapi juga karena regulasi yang ada tidak merumuskan secara eksplisit perbuatan tersebut sebagai pelanggaran hukum. Akibatnya, aparat penegak hukum menjadi gamang dalam memproses semua itu secara hukum. 

Seperti disebutkan sebelumnya, aturan mengenai Pilkadal sendiri memiliki celah untuk dimainkan oleh partai politik dan calon kepala daerah. Demikian juga mengenai politik uang, aturan yang ada tidak cukup memadai menangkal terjadi praktik money politics tersebut. Belum lagi pola penegakan hukum yang kurang kondusif. Tidak sedikit pelanggaran (yang dilakukan individu maupun kolektif) yang tidak terkena sanksi hukum. Berbagai praktik kecurangan yang dilakukan selama kampanye, tidak bisa ditindak secara hukum. Alhasil, acara “temu kader dan simpatisan” atau penyerahan “sumbangan” yang begitu giat dilakukan para calon dan Tim Sukses yang sarat nuansa politik uang, sering tidak diproses secara hukum karena berbagai sebab.

Ada aturan tapi jarang ditegakan secara benar—cenderung pilih kasih, ada pengadilan tapi sering jadi sarang mafia—jual-beli putusan, dan ada putusan hakim tapi sering sulit dieksekusi17. Akibatnya, tidak ada kepastian bahwa hukum itu benar-benar norma obyektif yang berlaku untuk semua. Tiada jaminan bahwa proses melalui pengadilan menghasilkan kebenaran dan keadilan. Dan sulit dipastikan bahwa orang yang diputus bersalah, harus selalu dihukum. Bahkan terdapat kecenderungan perlakuan yang diskriminatif antara yang kuat dan yang lemah. Tolok ukur pemecahan konflik berlangsung menurut “hukum kuat-lemah”.

Konsepsi Mencegah Budaya Politik Uang: Sebuah Revitalisasi Ideologi

Kata mencegah, menunjuk pada upaya atau langkah antisipasi agar sesuatu tidak terjadi. Mencegah budaya politik uang bermakna melakukan antisipasi agar praktik politik uang tidak terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada. Jadi tekanannya adalah pada langkah- langkah preventif, bukan langkah-langkah kuratif atau represif. Itu berarti, dalam membahas konsepsi tentang mencegah budaya politik uang guna menciptakan pemilihan kepala daerah yang berkualitas dalam rangka stabilitas nasional, maka yang harus ditonjolkan adalah langkah-langkah preventif yang diperlukan untuk mencegah terjadinya politik uang itu sendiri.
Dalam rangka mencegah budaya politik uang guna menciptakan Pilkada yang berkualitas dalam rangka stabilitas nasional, maka kebijaksanaan yang perlu diambil adalah: Mewujudkan pencegahan budaya politik uang melalui langkah hukum dan langkah non-hukum demi menciptakan Pilkada yang berkualitas dalam rangka stabilitas nasional.
Dengan berpedoman pada kebijaksanaan tersebut di atas, maka dapat dikembangkan strategi yang melibatkan infrastruktur, suprastruktur, dan substruktur sebagai subyek, dengan pemerintah negara dan perangkat nasional yang menangani Pilkada dan politik uang, serta masyarakat sebagai sasaran sosialisasi, edukasi, regulasi, revitalisasi, dan pemberdayaan masyarakat sebagai metode. Strategi pencegahan melalui sarana hukum, mencukup tiga hal yakni pencegahan pada tingkat legislasi, yudikasi, dan eksekusi. Dengan adanya aturan dalam UU (kebijakan legislasi), penerapan hukum dalam kasus nyata (kebijakan yudikasi), dan pelaksanaan hukuman sesuai putusan pengadilan (kebijakan eksekusi), maka akan terjadi efek pencegahan, baik pencegahan yang bersifat umum dan bersifat khusus.

Strategi Pencegahan Melalui Kebijakan Legislasi: Mengkriminalisasikan politik uang sebagai tindak kejahatan dengan ancaman hukuman yang berat. Stategi kriminalisasi politik uang, perlu ditempuh karena selama ini terjadi kekosongan hukum (utamanya hukum pidana) mengenai hal tersebut. Mengikuti teori von Feurbach, kriminalisasi yang disertai ancaman hukuman berat terhadap politik uang akan memberi efek psikologis yang mencegah seseorang melakukan perbuatan serupa.
Strategi Pencegahan Melalui Kebijakan Yudikasi: Memantapkan efektivitas penerapan hukum (menyangkut kasus politik uang) melalui peningkatan keterpaduan kerja antar aparat penegak hukum, peningkatan kemampuan penguasaan hukum, peningkatan keterampilan teknis yuridis, peningkatan integritas moral, peningkatan profesionalisme, serta peningkatan sarana dan prasarana yang diperlukan.

Strategi ini mutlak diperlukan karena sekalian hal di atas merupakan syarat penting bagi penerapan hukum secara efektif. Tanpa penerapan hukum yang efektif, maka praktik politik uang dalam Pilkada akan sulit dicegah. Selama ini, kendala utama yang menyebabkan tidak maksimalnya penegakan hukum serta kurang efektifnya penerapan hukum, justru karena kurangnya keterpaduan kerja antar aparat penegak hukum, minimnya penguasaan hukum, rendahnya integritas moral dan profesionalisme, serta kurangnya sarana/prasarana yang tersedia (termasuk rendahnya gaji aparat).
Strategi Pencegahan Melalui Kebijakan Eksekusi: Mengefektifkan pelaksanaan eksekusi hukuman (terhadap pelaku politik uang) melalui peningkatan pengawasan oleh pengadilan.

Strategi ini merupakan upaya untuk memastikan bahwa putusan hukum oleh pengadilan mengenai politik uang benar-benar dieksekusi dan dilaksanakan secara benar dan tepat. Tanpa penghukuman yang riil dan pembinaan yang tepat di penjara, maka pencegahan yang bersifat umum maupun khusus tidak mungkin tercapai, dan dengan demikian praktik politik uang tidak mungkin terberantas.



Referensi
Utari,Indah Sri. 2016. Pencegahan Politik Uang dan Penyelenggaraan Pilkada yang Berkualitas : Sebuah Revitalisasi Ideologi. Jurnal Seminar Nasional Hukum UNNES Vol.2 No.1
Nuryanti, Sri. Intervensi Penyelenggaraan Pemilukada: Regulasi, Sumberdaya dan Eksekusi
Faqih, Mariyadi. Konstruksi Keyakinan Hakim Mahkamah Konstitusi  dalam Putusan Perselisihan Pemilukada, Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Malang
Ghoffar , Abdul . Kejujuran dalam Bingkai Hak Memilih-Dipilih
Fitriyah, Fenomena Politik Uang Dalam Pilkada

Permasalahan Dana Kampanye Pilkada dari Sudut Pandang Politik Dalam dan Luar Negeri Indonesia Permasalahan Dana Kampanye Pilkada dari Sudut Pandang Politik Dalam dan Luar Negeri Indonesia Reviewed by disment_idu9 on February 09, 2019 Rating: 5

No comments:

Gallery

Powered by Blogger.