KONFLIK SOSIAL DARI PERSPEKTIF BENCANA BUATAN MANUSIA

TUJUAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
“LUMPUR LAPINDO SEBAGAI KONFLIK SOSIAL DARI PERSPEKTIF BENCANA BUATAN MANUSIA”
Kristiyono, Novita Agatha Nainupu, Nurul Safitry, Oktavia Putri Rahmawati, Taufiq Prasetyo


A.   PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah salah satu negara multikultur terbesar di dunia, hal ini dapat terlihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis Indonesia yang begitu kompleks, beragam, dan luas. Keragaman masyarakat multikultural sebagai kekayaan bangsa di sisi lain sangat rawan memicu konflik dan perpecahan. Pluralitas dan heterogenitas yang tercermin pada masyarakat Indonesia diikat dalam prinsip persatuan dan kesatuan bangsa yang kita kenal dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang mengandung makna meskipun Indonesia berbhinneka, tetapi terintegrasi dalam kesatuan. Hal ini merupakan sebuah keunikan tersendiri bagi bangsa Indonesia yang bersatu dalam suatu kekuatan dan kerukunan beragama, berbangsa dan bernegara yang harus diinsafi secara sadar. Namun, kemajemukan terkadang membawa berbagai persoalan dan potensi konflik yang berujung pada perpecahan. Hal ini menggambarkan bahwa pada dasarnya, tidak mudah mempersatukan suatu keragaman tanpa didukung oleh kesadaran masyarakat multikultural.
Berbagai penyebab menjadi faktor dalam permasalahan ini. Pertama, karena faktor internal, di mana belum terciptanya pemerataan pembangunan meski Indonesia sudah berumur 73 tahun sebagai bangsa yang merdeka. Demografi Indonesia masih didominasi oleh masyarakat low class (less fortunate people), ketimpangan kesejahteraan karena adanya gap antara yang kaya dengan yang miskin[1]. Potensi kerawanan juga dapat dipengaruhi karena demokrasi dimanipulasi atau low class dimanfaatkan untuk kepentingan elite. Kedua, adalah faktor eksternal yang dapat mempengaruhi terjadinya konflik dalam negeri. Beragam faktor itu bisa menimbulkan efek domini dalam bidang militer, politik, sosial, ekonomi, dan ekologi.
Salah satu contoh konflik horizontal yang sampai saat ini masih terjadi yaitu konflik yang terjadi antara kelompok korban bencana lumpur Lapindo. Konflik antar kelompok korban bencana Lumpur Lapindo muncul karena dipicu oleh adanya kebijakan pemerintah terkait penanganan dampak bencana Lumpur Lapindo.

B.    PEMBAHASAN
1.    Penyebab Konflik Sosial dari Perspektif Bencana Buatan Manusia
Dalam upaya penanganan dampak bencana Lumpur Lapindo, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007 tertanggal 8 April 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) sebagai revisi atas Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 13 Tahun 2006. Namun keluarnya Perpres tersebut justru telah mendorong munculnya kegelisahan dan kekhawatiran pada warga korban Lumpur Lapindo akan nasib mereka. Kekhawatiran warga korban Lumpur Lapindo terutama terkait substansi status mereka yang tidak diperlakukan sebagai korban bencana yang seharusnya mendapatkan ganti rugi, akan tetapi menjadi relasi antara penjual dan pembeli dalam skema penanganan masalah sosial kemasyarakatan. Dalam pasal 15 (1) Perpres Nomor 14 Tahun 2007 menyatakan bahwa: “Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan PT. LBI membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah”. Respons warga korban bencana Lumpur Lapindo terhadap kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2007 ini beragam, dimana ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Beragamnya respons warga korban bencana Lumpur Lapindo atas kebijakan pemerintah ini termanifestasikan dalam munculnya berbagai kelompok korban bencana Lumpur Lapindo. Diantara kelompok-kelompok ini kemudian terjadi friksi dan konflik antar kelompok. Dalam proses selanjutnya, kemudian lahirlah dua kelompok utama korban bencana Lumpur Lapindo, yakni kelompok: (1) Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL); dan (2) Paguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo (Pagarekorlap).
Konflik horisontal antar kelompok korban bencana Lumpur Lapindo terjadi karena adanya friksi di antara kelompok tersebut. Friksi tersebut muncul dalam tiga hal. Pertama, Friksi dalam perubahan nama kelompok. Ketika pengadilan menyatakan bahwa PT. LBI dinyatakan tidak bersalah atas terjadinya semburan lumpur panas di Sidoarjo maka dinamika gerakan sosial korban bencana Lumpur Lapindo mengalami perubahan yang cukup signifikan. Perubahan terjadi antara lain pada nama kelompok (organisasi) gerakan sosial korban bencana Lumpur Lapindo. Konflik terjadi karena dipicu oleh perubahan nama kelompok. Misalnya nama kelompok Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) berubah menjadi kelompok Gabungan Korban Luapan Lumpur (GKLL), kemdian nama kelompok Paguyuban Warga Renokenongo Korban Lumpur Lapindo (Pagarekorlap) berubah menjadi kelompok Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontran (Pagarekontrak). Kedua, Friksi dalam perubahan bentuk tuntutan skema proses pembayaran ganti rugi. Konflik dipicu oleh adanya perubahan dan perbedaan bentuk tuntutan skema proses pembayaran ganti rugi dari bentuk Cash and Carry, Cash dan Cicilan, dan Cash and Ressetlement. Ketiga, Friksi atas perubahan strategi aksi kelompok. Konflik dipicu oleh adanya perubahan strategi aksi dari konfrontatif menjadi kooperatif, negosiatif, dan akomodatif.
2.    Dampak Terhadap Keutuhan Bangsa Indonesia
Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) adalah lembaga negara yang dibentuk khusus untuk menangani lumpur Lapindo melalui penerbitan Perpres Nomor 14 Tahun 2007 pada 8 April 2007. Pembentukan BPLS menunjukkan betapa istimewa kasus Lapindo dibandingkan bencana lain di Indonesia, semisal gempa bumi Yogyakarta/Jawa Tengah 27 Mei 2006 yang untuk penanganannya pemerintah tidak membentuk lembaga penanganan bencana. BPLS menunjukkan bahwa negara adalah lembaga politik yang paling rasional untuk membantu warganya yang tertimpa bencana.[2]
Tugas BPLS yaitu menangani upaya penanggulangan semburan lumpur; menangani luapan lumpur; dan menangani masalah sosial dan infrastruktur. BPLS berkewajiban untuk melaporkan pelaksanaan tugasnya itu kepada Presiden. Namun, segala arahan, pembinaan, dan pengawasan pelaksanaan tugas dilakukan oleh Dewan Pengarah BPLS, bukan oleh Presiden.
Presiden Jokowi telah memerintahkan para menteri di kabinet untuk mewujudkan kontrak politiknya dengan korban Lapindo, yaitu memberikan pinjaman bersyarat pada Lapindo yang gagal melaksanakan kewajibannya membayar warga sebesar Rp 781,69 milyar. Syarat yang diberikan adalah Lapindo harus menyerahkan 13.327 berkas aset warga sebagai jaminan dan Lapindo diberi waktu empat tahun untuk mengembalikan pinjaman tanpa bunga itu. Jika Lapindo gagal mengembalikannya, aset itu akan diambil negara, yang adalah suatu keputusan yang ambigu karena seperti sudah banyak dibahas, mengacu pada UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
Kasus Lapindo berdampak pada pecahnya keutuhan NKRI jika kasus tersebut tidak segera diselesaikan. Kasus Lapindo merupakan bukti karut-marut pengelolaan industri migas di Indonesia, tidak hanya pada proses perizinan tapi juga tata kelola penanganan risiko industrial yang mungkin terjadi. Hal itu menunjukkan penekanan pada aspek ekonomis yang melampaui aspek sosial ekologis dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di Dunia Ketiga.[3]
3.    Dampak Terhadap Eksistensi Bangsa Indonesia di Dunia Internasional
Pada kasus luapan lumpur lapindo terkait penentuan kejadian tersebut merupakan bencana alam atau kesalahan manusia menjadi perdebatan para ilmuan Internasional. Permasalahan ini menjadi pembahasan dalam AAPG 2008 International Conference and Exhibition dilaksanakan di Cape Town International Conference Center, Afrika Selatan, tanggal 26-29 Oktober 2008, merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh American Association of Petroleum Geologists (AAPG) dihadiri oleh ahli geologi seluruh dunia, dari pertemuan ini menghasilan pendapat ahli: 3 (tiga) ahli dari Indonesia mendukung gempa Bantul 2006 sebagai penyebab munculnya luapan lumpur lapindo, 42 (empat puluh dua) suara ahli menyatakan pengeboran yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas Inc sebagai penyebab, 13 (tiga belas) suara ahli menyatakan kombinasi gempa dan Pengeboran sebagai penyebab, dan 16 (enam belas suara) ahli menyatakan belum bisa mengambil opini. Dalam Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan tertanggal 29 Mei 2007 juga menemukan kesalahan-kesalahan teknis dalam proses pengeboran. Hasil dari penelitian sebuah tim peneliti geologi dari Amerika Serikat, Inggris dan Australia mengatakan pemicu munculnya lumpur Lapindo di Sidoarjo adalah eksplorasi gas.[4] Dari pejelasan tersebut dapat kita lihat bagaimana besarnya perhatin dunia Internasional terhadap bencana yang terjadi di Indonesia.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli lumpur keluar disebabkan karena adanya patahan, banyak tempat di sekitar Jawa Timur sampai ke Madura seperti Gunung Anyar di Madura, "gunung" lumpur juga ada di Jawa Tengah (Bledug Kuwu). Fenomena ini sudah terjadi puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu. Jumlah lumpur di Sidoarjo yang keluar dari perut bumi sekitar 100.000 meter kubik per hari, yang tidak mungkin keluar dari lubang hasil "pengeboran" selebar 30 cm. Dan akibat pendapat awal dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia maupun Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia yang mengatakan lumpur di Sidoarjo ini berbahaya, menyebabkan dibuat tanggul di atas tanah milik masyarakat, yang karena volumenya besar sehingga tidak mungkin menampung seluruh luapan lumpur dan akhirnya menjadikan lahan yang terkena dampak menjadi semakin luas.
4.    Solusi
Semburan yang terjadi di Sidoarjo adalah fenomena geologi gunung lumpur, dan bukan fenomena underground blow out seperti yang terjadi di sumur minyak.  Secara teori gunung lumpur tidak harus dilakukan penutupan, karena akan sia-sia. Semburan lumpur yang terjadi di Sidoarjo diikuti oleh fenomena deformasi geologi, yaitu pergerakan vertikal (amblasan) dan pergerakan horizontal (sesar) formasi  batuan di sekitar pusat semburan. Belum ada teknologi yang dapat dipertanggung  jawabkan secara teknis, efektif dan efisien untuk penutupan semburan lumpur pada gunung lumpur. Teknologi yang dikenal dalam perminyakan adalah relief well, snubing unit, dan side tracking telah dicoba dan tidak berhasil. Teknologi tersebut memang untuk melepaskan tekanan pada pipa minyak, dan tidak bisa diterapkan  untuk semburan gunung lumpur yang dipengaruhi oleh deformasi geologi yang sangat aktif. Atas upaya penutupan semburan yang telah dilakukan, ternyata tidak  efektif dan menjadikan dana yang telah dikeluarkan sia-sia.
Dengan melihat pertimbangan yang ada tentang kenyataan yang terjadi tentang lumpur lapindo yang sangat sulit untuk dihentikan maka solusi untuk keselamatan warga khususnya daerah sekitar porong sidoarjo dan sekitarnya segera dilaksanakan relokasi ke tempat yang lebih aman. Tindakan ini diperlukan mengingat lumpur yang ada didalam bumi terus keluar sehingga dikhawatirkan menimbulkan rongga yang besar di bumi yang bisa mengakibatkan bangunan yang berada diatasnya amblas ke dalam bumi. Bencana besar akan terjadi apabila hal itu terjadi mengingat luasnya dampak yang bisa ditimbulkan oleh dampak lumpur lapindo tersebut.

C.    PENUTUP
Peristiwa lumpur lapindo Sidoarjo yang terjadi pada tahun 2006 silam menyisakan konflik berkepanjangan bagi warga, baik warga yang yang tinggal di peta berdampak maupun warga yang tinggal diluar peta berdampak. Berbagai macam solusi ditawarkan oleh pemerintah, salah satunya dengan diterbitkan Perpres No. 14 tahun 2007. Minimnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah, membuat warga tidak begitu mengetahui apa saja isi Perpres tersebut. Sikap acuh dan tidak peduli juga ditunjukkan warga manakala mereka menilai semua itu hanyalah akal-akalan pemerintah saja untuk meredam konflik yang terjadi akibat dari adanya peristiwa tersebut. Para penduduk menginginkan adanya tindakan nyata pemerintah untuk keberlangsungan kehidupan masyarakat selanjutnya.[5]
                                                                  
Referensi
Faure, Michael G. 2007. Financial Compensation for Victims of Catastrophes: A Law and Economics Perspective. Law and Policy Journal. Vol. 29(3):339-67
Lestari, Gina. 2015. Bhineka Tunggal Ika : Khazanah Multikultural Indonesia di Tengah Kehidupan SARA. Jurnal Pendidikan Pendidikan dan Kewarganegaraan Vol.28 No.1.
Novenanto, Anton. 2016. Membangun Bencana: Tinjauan Kritis atas Peran Negara dalam Kasus Lapindo. Jurnal Sosiologi. Vol. 20(2):159-192
Philadelphia, 2007. Birth of A Mud Volcano: East Java, 29 May 2006. A Publication of the geological society of Amerika: GSA Today
Roosinda, F. W. 2017. Kesetaraan Gender Dalam Penyelesaian Konflik Korban Lumpur Lapindo Sidoarjo. Komunikatif, 3(1), 52-64.
Sukmana, Oman. 2017. Konflik Horizontal antar Kelompok Korban Bencana Lumpur Lapindo. Jurnal Sospol Vol.3 No.1







[1] Kuliah umum Wakil Komandan Satgas Nusantara Polri (https://news.okezone.com/read/2019/01/03/337/1999612/indonesia-rawan-konflik-polri-beberkan-faktor-penyebabnya diakses tanggal 12 Februari 2019)
[2] Faure, Michael G. 2007. Financial Compensation for Victims of Catastrophes: A Law and Economics Perspective. Law and Policy Journal. Vol. 29(3):339-67
[3] Novenanto, Anton. 2016. Membangun Bencana: Tinjauan Kritis atas Peran Negara dalam Kasus Lapindo. Jurnal Sosiologi. Vol. 20(2):159-192
[4] Philadelphia, 2007. Birth of A Mud Volcano: East Java, 29 May 2006. A Publication of the geological society of Amerika: GSA Today
[5] Roosinda, F. W. 2017. Kesetaraan Gender Dalam Penyelesaian Konflik Korban Lumpur Lapindo Sidoarjo. Komunikatif, 3(1), 52-64.
KONFLIK SOSIAL DARI PERSPEKTIF BENCANA BUATAN MANUSIA KONFLIK SOSIAL DARI PERSPEKTIF BENCANA BUATAN MANUSIA Reviewed by disment_idu9 on February 13, 2019 Rating: 5

No comments:

Gallery

Powered by Blogger.