MASALAH DOMESTIK
MUTAKHIR
PENGGUNAAN DANA PILKADA DI INDONESIA
Deny
Widi Anggoro, Mochammad Azkari
Hisbulloh
Akbar, Nur Intan Sari, Yuniar Kurnia Widasari
LATAR BELAKANG
Beberapa waktu lalu,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaksanakan survei tentang pendanaan
Pilkada. Berdasarkan survei tersebut didapatkan temuan tentang pengeluaran
pilkada, yaitu 7,3% responden menyatakan bahwa mereka mengeluarkan dana pilkada
melebihi harta kas pribadi, 36% responden mengeluarkan biaya kampanye lebih
tinggi dari biaya yang dilaporkan kepada Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (LPPD), dan 52,3% responden menyatakan pasangan calon lain mengeluarkan
dana kampanye melebihi batasan dana yang ditentukan Komisi Pemilihan Umum
(KPU). Mengenal sumber dana yang didapatkan
oleh peserta diperoleh temuan, yaitu 82,6% responden menerima sumbangan untuk
pendanaan Pilkada; 34,7% responden menerima sumbangan melebihi yang dilaporkan
dalam Laporan
Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK);
dan 71,3% responden menyatakan bahwa donatur mengharapkan balasan di kemudian
hari saat calon kepala daerah menjabat.
Potensi benturan
kepentingan akan muncul karena secara eksplisit para pasangan calin
menyampaikan bahwa dengan sumbangan yang diberikan, para donatur mengharapkan
balas jasa jika pasangan calon yang disumbang menjabat kepala daerah dalam
bentuk (1) keamanan dalam menjalankan bisnis, (2) kemudahan perizinan terhadap
bisnis yang telah dan akan dilakukan, (3) kemudahan ikut tender proyek
pemerintah, dan (4) kemudahan akses terhadap untuk menjabat di pemerintah
daerah atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
PENDANAAN YANG BESAR
Peran dan fungsi uang dalam pemilu sangat penting dalam kajian ilmu sosial,
khususnya ilmu politik, ilmu hukum, dan ilmu ekonomi. Fungsi utama dari pemilu
adalah sebagai instrumen untuk sirkulasi kekuasaan dalam rangka rekruitmen
untuk mengisi jabatan-jabatan publik. Dari sisi peserta pemilu, kandidasi dan
mobilisasi dukungan menjadi aktivitas utama dari pemilu. Proses kandidasi dan
mobilisasi dukungan ini kemudian sangat terkait dengan pengelolaan sumberdaya
yang dimiliki oleh masing-masing peserta pemilu. Pentingnya memahami peran dan
fungsi uang dalam politik terletak pada bagaimana uang dimanfaatkan oleh para
calon untuk mendapatkan pengaruh, untuk dirubah menjadi sumberdaya dalam bentuk
lain, atau untuk digunakan bersamaan dengan sumberdaya lain untuk mencapai
kekuasaan politik. Dari sisi penyelenggara pemilu, peran dan fungsi uang sangat
terkait dengan pembiayaan untuk penyelenggaraan pemilu. Sedangkan dari sisi
pemilih, pembiayaan pemilu sangat terkait dengan upaya para peserta pemilu
untuk mempengaruhi keputusan pemilih, misalnya dalam bentuk pembelian suara.
Pemilu menjadi sarana masyarakat untuk ikut
berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan negara, karena masyarakat mempunyai
kedudukan yang sama dalam hukum dan politik, tanpa terkecuali. Bentuk
partisipasi masyarakat yang menyeluruh dan tanpa batas ini menjadikan pemilu
sebagai politik yang tidak murah. Jika dikatakan suatu demokrasi tidak mungkin
tanpa adanya pemilu, maka sangat mustahil apabila pemilu tidak berkaitan dengan
uang. Pertama, pemilu memerlukan banyak uang untuk proses penyelenggaraannya mulai
dari membayar petugas, membuat surat suara dan perlengkapannya, hingga
mempublikasikan hasil-hasilnya. Kedua, pemilu mengharuskan para peserta
mengeluarkan banyak uang untuk kampanye. Kampanye adalah kerja kelola dalam
pemilu yang mengupayakan orang yang dicalonkan dipilih, atau dipilih kembali
dalam suatu jabatan formal.
Beberapa kajian mengidentifikasi beragam isu terkait
dengan uang di dalam politik. Poin pertama adalah soal biaya politik yang
mahal. Hal ini salah satunya disebabkan oleh semakin berkembangnya fenomena
profesionalisasi politik dan kampanye. Kedua, semakin rendahnya dukungan
finansial dari kelompok akar rumput terhadap para politisi. Hal ini kemudian
berimplikasi pada ketergantungan peserta pemilu kepada donatur swasta dan
negara. Ketiga, maraknya praktek pembiayaan gelap, dimana sumber penerimaan
menjadi tidak jelas. Keempat, keinginan kelompok bisnis dalam memberikan
dukungan pembiayaan untuk kampanye kepada para calon dengan kompensasi dan
harapan akan adanya keuntungan kepada kelompok- kelompok bisnis itu manakala
calon-calon tersebut berhasil mendapatkan jabatan- jabatan publik. Kelima,
ketidaksetaraan akses terhadap sumber-sumber pembiayaan. Keenam, dominasi atas
sumberdaya negara oleh beberapa calon saja. Ketujuh, lemahnya penegakan
regulasi atau aturan main, terutama oleh lembaga penyelenggara pemilu dan para
pemangku kepentingan terkait. Kedelapan, reformasi pembiayaanpemilu sangat
didominasi oleh para pembuat kebijakan yang sekaligus merupakan peserta pemilu
itu sendiri sehingga regulasi dibuat sedemikian rupa sehingga akan
menguntungkan secara langsung bagi para pembuat regulasi tersebut. Terakhir,
problematika transpransi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan di
internal partai-partai politik.
PENERIMAAN SUMBANGAN DENGAN ASAS IMBALAN
Berdasarkan Laporan Studi Potensi Benturan Kepentingan
Dalam Pendanaan Pilkada Serentak 2015 menyatakan bahwa korelasi total harta
kekayaan pasangan calon kepala daerah terhadap kemenangan Pilkada memiliki
korelasi yang signifikan antara kemenangan dan total harta kekayaan pasangan
calon, tetapi pasangan calon dengan kekayaan yang tinggi belum tentu menjadi
pemenang. Pernyataan tersebut diperoleh dari uji non parametrik untuk melihat korelasi jumlah kekayaan
terhadap kemenangan pasa pasangan calon.
Jika dilihat berdasarkan karakteristik daerah pemilihan
berdasarkan kekayaan sumber daya alam, terlihat bahwa rata-rata pengeluaran
biaya pengeluaran biaya Pilkada di daerah SDA tinggu cenderung lebih tinggi
dibandingkan pada daerah dengan SDA sedang dan rendah walaupun secara statistik
tidak berbeda nyata. Adanya kesenjangan antara dana kampanye yang dikeluarkan
pasangan calon dengan batasan dana yang diatur oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
menunjukkan bahwa batasan dana yang ditetapkan tidak efektif. Kondisi tersebut
terjadi sampai saat ini karena tidak ada sanksi yang diberikan kepada pasangan
calon jika yang bersangkutan melakukan pelanggaran terhadap batasan dana
kampanye yang ditetapkan.
Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 Pasal 74 Ayat (1) dan (2)
memperbolehkan menerima sumbangan dana kampanye calon dapat diperoleh melalui
sumbangan partai politik dan sumbangan lain yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan
perseorangan dan/atau sumbangan badan hukum swasta”. Kriteria sumbangan dalam
undang-undang disebutkan bersifat “tidak mengikat”, tetapi adanya anekdot bahwa
“tidak ada makan siang gratis”. Donatur yang memberikan sumbangan mengharapkan
balasan di kemudian hari terutama dalam hal perizinan dalam bisnis, kemudahan
pengadaan barang dan jasa pemerintah, keamanan dalam menjalankan bisnis, dan
kemudahan akses untuk menjabat di pemerintah daerah atau Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD).
Harapan donatur terhadap pasangan calin yang terpilih dan
adanya kemungkinan kesepakatan dari pasangan calon yang terpilih untuk memenuhi
harapan donatur tersebut harus menjadi fokus dalam mengidentifikasi benturan
kepentingan. Benturan kepentingan yang tidak dikelola dengan baik dapat
mengarah pada terjadinya tindak pidana korupsi. Praktik benturan kepentingan
yang terjadi tidak hanya berdampak pada kerugian negara, tetapi juga mencederai
nilai-nilai keadiklan, kemanusiaan, dan menganggu kualitas suatu pemilihan.
Oleh karena itu, konflik kepentingan tidak hanya berpotensi merugikan bangsa
secara material, tetapi juga immaterial dan mengganggu pencapaian cita-cita
bangsa Indonesia.
SOLUSI
Solusi yang dapat kami
tawarkan agar kejadian tersebut tidak terulang kembali pada pilkada berikutnya
di Indonesia, berupa mereka tidak begitu saja menerima sumbangan dana dari
pihak-pihak yang akan meminta imbalan dari mereka apabila mereka terpilih adalah
dengan menjaga akuntabilitas, yaitu laporan dana kampanye yang berupa pembukuan
dana kampanye beserta rincian penerimaannya, rincian pengeluaran dan daftar
penyumbang, harus diaudit oleh akuntan publik. Sesuai dengan UU No.10 tahun
2008 dan UU No.8 tahun 2012, UU No.42 tahun 2008 dan UU No.32 tahun 2004 yang
mengatur tentang persoalan tersebut.
Pertama, tentang kantor
akuntak publik yang bertugas melakukan audit. UU No.12/2008 dan UU No.8/2012
menegaskan bahwa kantor akuntan publik yang melakukan audit laporan dana
kampanye ditunjuk oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun UU No.42/2008 dan UU
No.32/2004 tidak menegaskan hal tersebut, sehingga pasangan calon presiden dan
pasangan calon kepala daerah bisa menunjuk sendiri kantor akuntan publik yang
dikehedakinya. Demi keseragaman peraturan dan demi menghindari conflict of
interest antara pembuat laporan dana kampanye dengan pemeriksa laporan dana
kampanye, maka kantor akuntan publik harus ditunjuk oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU). Komisi Pemilihan Umum (KPU) lah yang kemudian memberitahukan kepada
peserta pemilu agar laporan dana kampanyenya diserahkan ke kantor akuntan
publik tertentu untuk dilakukan audit.
Kedua, tentang obyek audit.
Kelemahan pokok tiga undang-undang pemilu dalam mengatur audit dana kampanye
adalah tidak jelasnya pengaturan obyek audit, sehingga hal tersebut
membingungkan kantor akuntan publik. Undang-undang
pemilu harus mempertegas obyek audit, guna memastikan ada tidaknya pelanggaran
dalam pengelolaan dana kampanye sebagaimana yang tertulis dalam laporan dana
kampanye. Tugas
pokok auditor adalah memastikan ada tidaknya sumber-sumber dana kampanye dari
pihak terlarang, ada tidaknya penyumbang perseorangan dan perusahaan yang
melampaui batas sumbangan, dan ada tidaknya penyumbang yang tidak jelas
identitasnya. Apabila auditor menemukan sumber dana kampanye terlarang, besaran
sumbangan melampaui batas, dan penyumbang yang tidak jelas identitasnya, maka
hal tersebut harus dilaporkan dalam berkas laporan hasil audit yang akan
diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Ketiga, tentang masa audit.
Semua undang-undang pemilu menegaskan bahwa laporan dana kampanye harus diaudit
kantor akuntan publik. Namun masing-masing undang-undang memiliki pengaturan
yang berbeda terkait dengan waktu audit. Pertama-tema
harus dipastikan kapan kantor akuntan publik menerima laporan dana kampanye
dari Komisi Pemilihan Umum (KPU); berapa lama kantor akuntan publik melakukan
audit; dan kapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menerima hasil audit kantor
akuntan publik. Setelah batas 3 (tiga) hari penyerahan laporan dana kampanye ke
penyelenggara habis, maka Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemilihan Umum
(KPU) provinsi dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten/kota diharuskan
menyerahkan berkas laporan dana kampanye ke kantor akuntan publik,
selambat-lambatnya 3 (tiga) hari setelah batas batas waktu penyerahan habis.
Selanjutnya, apabila komponen-komponen penerimaan dan pengeluaran sudah diatur
dengan jelas, demikian juga dengan daftar penyumbang, maka kantor akuntan publik
hanya butuh waktu 14 hari melakukan audit. Terakhir, kantor akuntan publik
harus sudah menyerahkan hasil audit laporan dana kampanye ke Komisi Pemilihan
Umum (KPU), Komisi Pemilihan Umum (KPU) provinsi dan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) kabupaten/kota paling lambat 3 hari setelah masa audit berakhir.
Keempat,
tentang sanksi. Kelemahan penting pengaturan pelaporan dana kampanye adalah
tidak adanya sanksi terhadap pelaku pelanggaran yang ditemukan dalam laporan
hasil audit dana kampanye. Pelaku-pelaku itu bisa partai politik, calon anggota
legislatif, calon pejabat eksekutif, pejabat pembuat laporan, dan atau
penyumbang. Memang ada beberapa ketentuan sanksi atas pelanggaran ketentuan
laporan dana kampanye, namun operasionalisasi sanksi itu tidak jelas, sehingga
Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku pemberi sanksi pun tidak bisa secara cepat
dan tepat melakukannya. Oleh karena itu, untuk memastikan agar prinsip
transparansi dan akuntabilitas benar-benar bisa diwujudkan, maka pengaturan
tentang sanksi atas para pelanggaran ketentuan-ketentuan pelaporan dana
kampanye harus diperjelas dan bisa dieksekusi oleh penyelenggara pemilu.
REFERENSI
Anjalline, Irwan, dkk. 2014. Pengaturan Dana Kampanye Pemilihan Umum
Sebagai Tanggung Jawab Calon Anggota Legislatif Berdasarkan Undang- Undang
Nomor 8 Tahun 2012. Fakultas HUkum Universitas Jember (UNEJ).
BAWASLU. 2018. Pembiayaan Pemilu di Indonesia. Cetakan Pertama Desember 2018.
Jakarta.
Sahabuddin, S. Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana
Pemberian Sumbangan Dana Kampanye Pemilu. Legal Opinion, 5(1).
MASALAH DOMESTIK MUTAKHIR PENGGUNAAN DANA PILKADA DI INDONESIA
Reviewed by disment_idu9
on
February 12, 2019
Rating:
No comments: