Masalah Domestik Mutakhir Praktek Penggunaan Dana Pilkada Di Indonesia

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Politik Dalam dan Luar Negeri


Disusun oleh:

Kelompok 3

1.    Bram Ronald Sanjaya         (120180301003)
2.    Dian Efrianti                         (120180301007)
3.    Mega Putri Rizayati             (120180301013)
4.    Nur Ikhsani Rahmatika        (120180301018)

5.    Sugeng Widodo                   (120180301024)


            Alasan Paslon memerlukan dana yang besar
            Peran dan fungsi dana dalam pemilu adalah sangat penting dalam kajian dalam ilmu sosial, khususnya ilmu politik, ilmu hukum, dan ilmu ekonomi. Topik ini sangat terkait dengan berbagai isu transparansi dan akuntabilitas dalam rangka mendorong perwujudan pemilu yang berintegritas.[1] Topik ini juga sangat terkait dengan konsep keadilan pemilu, lebih spesifik lagi tentang dimensi kontestasi dan partisipasi dalam mewujudkan pemilu yang berjalan dengan jujur dan adil.[2] Peran dan fungsi dana dalam pemilu memunculkan berbagai problematika, seperti yang terjadi di Indonesia mengenai kenapa Paslon sangat memerlukan dana dari luar karena mereka telah mengeluarkan dana pilkada melebihi harta kas mereka.
            Di Indonesia hal yang paling menonjol dan menjadi alasan utama para Paslon memerlukan dana yang besar yang melebihi harta kas mereka, antara lain adalah tuntutan dana kampanye yang begitu besar. Dimana Paslon membutuhkan dana besar untuk pembiayaan berbagai pengeluaran, meliputi biaya tim pemenangan, konsultan survei, alat peraga, merchandise, saksi, dan termasuk iklan dalam kampanye.  Dalam penggunaan dan penggalangan dana kampanye dibagi 4 tahapan sebagai berikut:
1)      Pertama, untuk menarik perhatian publik, partai atau bakal calon yang akan berlaga dalam pemilu membuat baliho hingga melakukan survei.
2)      Kedua, calon tersebut juga harus menarik perhatian partai politik dengan menyerahkan "mahar". Partai politik mematok harga masing-masing.
3)      Ketiga, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, saat kampanye merupakan tahapan termahal. Dalam Pasal 74 ayat 5 Undang-undang Pilkada, disebutkan bahwa sumbangan dana kampanye perseorangan paling banyak Rp 75 juta dan dari badan hukum swasta paling banyak Rp 750 juta. Meski politik uang dilarang, masing-masing calon boleh membagi-bagikan barang ke masyarakat dengan nilai tidak lebih dari Rp 25.000. Inilah membuat kandidat berlomba-lomba mengumpulkan dana kampanye yang tinggi
4)      Keempat, persiapan dan pengawalan sengketa. Kasus yang menyeret mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menjadi contoh sempurna bagaimana pada tahapan ini para kandidat rela mengeluarkan banyak uang. Ada potensi upaya para peserta pemilu memengaruhi keputusan hakim atas sengketa pemilu dengan melakukan suap. Dengan banyaknya perkiraan dana yang harus dikeluarkan, para kepala daerah tentunya mengembalikan modal politik. Sementara, gaji dan tunjangan kepala dawrah misalnya, diyakini tidak akan menutupi jumlah tersebut.

            Tuntutan dana kampanye yang telah dijelaskan diataslah yang menjadikan peserta pemilu harus berusaha menyiapkan dana. Walaupun biaya kampanye ditanggung oleh negara, namun paslon juga ikut mengeluarkan biaya lain untuk mendukung kampanyenya dan sebagai upaya untuk mendapatkan rekomendasi dari parpol pengusungnya. Dana yang digunakan peserta pemilu tersebut dapat berasal dari dana pribadi peserta pemilu, iuran anggota partainya, subsidi negara dan kontribusi dari para donator atau penyumbang. Yang dimana para penyumbang akan mengharapkan balas jasa jika paslon yang disumbang telah berhasil menjabat.

 Faktor yang mempengaruhi Paslon menerima “Sumbangan Bersyarat” dari Beberapa Oknum
Fungsi dana bagi para Paslon dalam pemilu terletak pada bagaimana uang dimanfaatkan oleh para calon untuk mempengaruhi keputusan pemilih. Uang akan dimanfaatkan para calon untuk pembiayaan kampanye seperti untuk iklan di media cetak maupun media elektronik, poster, pin, kaos, dan atribut kampanye lainnya, hingga pertemuan-pertemuan dengan komunitas/ kelompok atau bahkan buruknya digunakan untuk pembelian suara pemilih oleh para paslon. Hal ini bertujuan tidak lain adalah untuk memperoleh dukungan dan mendapatkan suara pemilih.
Para paslon membutuhkan dana yang cukup besar untuk kampanye dan menyampaikan visi-misi yang diusungnya hingga ke tataran masyarakat di wilayah terpencil, hal inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong bagi para Paslon untuk menerima sumbangan dari donatur, meskipun dengan syarat imbalan tertentu.

3.          Saran Untuk Pilkada selanjutnya yang bebas korupsi
a.                   Kembali ke supremasi hukum sebagai solusi
Menurut Artidjo Alkotsar (2009), permasalahan korupsi yang terjadi saat Pilkada adalah kembali ke supremasi hukum sebagai solusi. Saat ini para pejabat negara lebih mengutamakan interest dan kepentingan pribadi. Hukum tidak lagi dihargai sebagai lagi sebagaimana mestinya. Karakter korupsi yang dimiliki para pejabat di negeri ini jika tidak diberantas, maka dapat dipastikan bahwa negara Indonesia akan terus berada dalam keterpurukan, sehingga cita cita dan tujuan bernegara seperti yang dituangkan dalam pembukaan UUD 1945 tidak akan pernah terwujud.  
b.                   Pengawasan dan Pengendalian yang ketat terhadap kewenangan monopolistik dan diskresioner.
Timbulnya korupsi dan kejahatan HAM tidak terlepas dari kekuasaan yang tidak terkontrol atau penyalahgunaan kekuasaan. Sumber kesempatan korupsi adalah pemberian monopoli kekuasaan kepada seseorang atau lembaga, disertai dengan kewenangan untuk melakukan diskresi secara luas (perpajakan, bea cukai, penegakkan hukum, dan imigrasi). Oleh karena itu perlu adanya pengawasan dan pengendalian yang ketat atas kewenangan tersebut.
c.                   Pertanggungjawaban yang besar kepada yang memilih sebagai bentuk keterwakilan dan bukan kepada partai politik yang mengusungnya.
Prinsip keterwakilan menurut Hans Kelsen, harus berorientasi pada ada tidaknya proses pertanggung jawaban  terhadap pemilih. Ini maknanya adalah bahwa demokrasi dalam konteks perwakilan mengharuskan adanya pertanggung jawaban yang besar secara moral kepada para pemilih dan bukan kepada partai politik yang mengusungnya.
d.                   Melaksanakan sistim pemerintahan yang merefleksikan tatanan hukum yang responsif sesuai dengan kehendak masyarakat.
Menurut Tahir Azhari, bahwa pemerintahan yang baik, mampu menyelenggarakan sistim pemerintahan yang menghasilkan perundang –undangan yang benar benar memberi jaminan bahwa hak haknya tidak akan terenggut dengan adanya perundangan tersebut. Pemerintah selayaknya melakukan kebijakan-kebijakan strategis untuk menumpas korupsi sampai ke akar- akarnya dengan menegakkan supremasi hukum dan memperbaiki sistem yang rentan korup.
e.                   Meminimalisasi potensi munculnya problem terkait budaya politik masyarakat, regulasi dan teknis penyelenggaraan.
f.                    Undang-undang Pilkada harus mampu membedakan antara politik uang dan biaya politik yang dikeluarkan pemerintah.
g.                   Menghilangkan unsur kapitalisasi pilkada, menekan biaya operasional yang penyelenggarannya dan pembiayaannya tidak membebani pemerintah daerah.
h.                   Pengawasan dari pemerintah secara intensif terhadap seluruh pelaku politik, masyarakat dan penyelenggara, bertindak berdasarkan peraturan yang berlaku.
i.                     Penerapan prinsip equality before the law dan supremasi hukum secara tegas bagi siapapun bagi pelaku korupsi dengan kewajiban mengembalikan semua harta bergerak dan tidak bergerak yang didapatkan dari hasil korupsi (pemiskinan koruptor).



[1] Norris, Pippa. 2014. The Concept of Electoral Integrity. In Why Electoral Integrity Matter. Cambridge: Cambridge University Press, hal. 21-39.
[2]
1.                 
            Alasan Paslon memerlukan dana yang besar
            Peran dan fungsi dana dalam pemilu adalah sangat penting dalam kajian dalam ilmu sosial, khususnya ilmu politik, ilmu hukum, dan ilmu ekonomi. Topik ini sangat terkait dengan berbagai isu transparansi dan akuntabilitas dalam rangka mendorong perwujudan pemilu yang berintegritas.[1] Topik ini juga sangat terkait dengan konsep keadilan pemilu, lebih spesifik lagi tentang dimensi kontestasi dan partisipasi dalam mewujudkan pemilu yang berjalan dengan jujur dan adil.[2] Peran dan fungsi dana dalam pemilu memunculkan berbagai problematika, seperti yang terjadi di Indonesia mengenai kenapa Paslon sangat memerlukan dana dari luar karena mereka telah mengeluarkan dana pilkada melebihi harta kas mereka.
            Di Indonesia hal yang paling menonjol dan menjadi alasan utama para Paslon memerlukan dana yang besar yang melebihi harta kas mereka, antara lain adalah tuntutan dana kampanye yang begitu besar. Dimana Paslon membutuhkan dana besar untuk pembiayaan berbagai pengeluaran, meliputi biaya tim pemenangan, konsultan survei, alat peraga, merchandise, saksi, dan termasuk iklan dalam kampanye.  Dalam penggunaan dan penggalangan dana kampanye dibagi 4 tahapan sebagai berikut:
1)      Pertama, untuk menarik perhatian publik, partai atau bakal calon yang akan berlaga dalam pemilu membuat baliho hingga melakukan survei.
2)      Kedua, calon tersebut juga harus menarik perhatian partai politik dengan menyerahkan "mahar". Partai politik mematok harga masing-masing.
3)      Ketiga, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, saat kampanye merupakan tahapan termahal. Dalam Pasal 74 ayat 5 Undang-undang Pilkada, disebutkan bahwa sumbangan dana kampanye perseorangan paling banyak Rp 75 juta dan dari badan hukum swasta paling banyak Rp 750 juta. Meski politik uang dilarang, masing-masing calon boleh membagi-bagikan barang ke masyarakat dengan nilai tidak lebih dari Rp 25.000. Inilah membuat kandidat berlomba-lomba mengumpulkan dana kampanye yang tinggi
4)      Keempat, persiapan dan pengawalan sengketa. Kasus yang menyeret mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menjadi contoh sempurna bagaimana pada tahapan ini para kandidat rela mengeluarkan banyak uang. Ada potensi upaya para peserta pemilu memengaruhi keputusan hakim atas sengketa pemilu dengan melakukan suap. Dengan banyaknya perkiraan dana yang harus dikeluarkan, para kepala daerah tentunya mengembalikan modal politik. Sementara, gaji dan tunjangan kepala dawrah misalnya, diyakini tidak akan menutupi jumlah tersebut.

            Tuntutan dana kampanye yang telah dijelaskan diataslah yang menjadikan peserta pemilu harus berusaha menyiapkan dana. Walaupun biaya kampanye ditanggung oleh negara, namun paslon juga ikut mengeluarkan biaya lain untuk mendukung kampanyenya dan sebagai upaya untuk mendapatkan rekomendasi dari parpol pengusungnya. Dana yang digunakan peserta pemilu tersebut dapat berasal dari dana pribadi peserta pemilu, iuran anggota partainya, subsidi negara dan kontribusi dari para donator atau penyumbang. Yang dimana para penyumbang akan mengharapkan balas jasa jika paslon yang disumbang telah berhasil menjabat.

2.                  Faktor yang mempengaruhi Paslon menerima “Sumbangan Bersyarat” dari Beberapa Oknum

Fungsi dana bagi para Paslon dalam pemilu terletak pada bagaimana uang dimanfaatkan oleh para calon untuk mempengaruhi keputusan pemilih. Uang akan dimanfaatkan para calon untuk pembiayaan kampanye seperti untuk iklan di media cetak maupun media elektronik, poster, pin, kaos, dan atribut kampanye lainnya, hingga pertemuan-pertemuan dengan komunitas/ kelompok atau bahkan buruknya digunakan untuk pembelian suara pemilih oleh para paslon. Hal ini bertujuan tidak lain adalah untuk memperoleh dukungan dan mendapatkan suara pemilih.
Para paslon membutuhkan dana yang cukup besar untuk kampanye dan menyampaikan visi-misi yang diusungnya hingga ke tataran masyarakat di wilayah terpencil, hal inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong bagi para Paslon untuk menerima sumbangan dari donatur, meskipun dengan syarat imbalan tertentu.

3.                  Saran Untuk Pilkada selanjutnya yang bebas korupsi
a.                   Kembali ke supremasi hukum sebagai solusi
Menurut Artidjo Alkotsar (2009), permasalahan korupsi yang terjadi saat Pilkada adalah kembali ke supremasi hukum sebagai solusi. Saat ini para pejabat negara lebih mengutamakan interest dan kepentingan pribadi. Hukum tidak lagi dihargai sebagai lagi sebagaimana mestinya. Karakter korupsi yang dimiliki para pejabat di negeri ini jika tidak diberantas, maka dapat dipastikan bahwa negara Indonesia akan terus berada dalam keterpurukan, sehingga cita cita dan tujuan bernegara seperti yang dituangkan dalam pembukaan UUD 1945 tidak akan pernah terwujud.  
b.                   Pengawasan dan Pengendalian yang ketat terhadap kewenangan monopolistik dan diskresioner.
Timbulnya korupsi dan kejahatan HAM tidak terlepas dari kekuasaan yang tidak terkontrol atau penyalahgunaan kekuasaan. Sumber kesempatan korupsi adalah pemberian monopoli kekuasaan kepada seseorang atau lembaga, disertai dengan kewenangan untuk melakukan diskresi secara luas (perpajakan, bea cukai, penegakkan hukum, dan imigrasi). Oleh karena itu perlu adanya pengawasan dan pengendalian yang ketat atas kewenangan tersebut.
c.                   Pertanggungjawaban yang besar kepada yang memilih sebagai bentuk keterwakilan dan bukan kepada partai politik yang mengusungnya.
Prinsip keterwakilan menurut Hans Kelsen, harus berorientasi pada ada tidaknya proses pertanggung jawaban  terhadap pemilih. Ini maknanya adalah bahwa demokrasi dalam konteks perwakilan mengharuskan adanya pertanggung jawaban yang besar secara moral kepada para pemilih dan bukan kepada partai politik yang mengusungnya.
d.                   Melaksanakan sistim pemerintahan yang merefleksikan tatanan hukum yang responsif sesuai dengan kehendak masyarakat.
Menurut Tahir Azhari, bahwa pemerintahan yang baik, mampu menyelenggarakan sistim pemerintahan yang menghasilkan perundang –undangan yang benar benar memberi jaminan bahwa hak haknya tidak akan terenggut dengan adanya perundangan tersebut. Pemerintah selayaknya melakukan kebijakan-kebijakan strategis untuk menumpas korupsi sampai ke akar- akarnya dengan menegakkan supremasi hukum dan memperbaiki sistem yang rentan korup.
e.                   Meminimalisasi potensi munculnya problem terkait budaya politik masyarakat, regulasi dan teknis penyelenggaraan.
f.                    Undang-undang Pilkada harus mampu membedakan antara politik uang dan biaya politik yang dikeluarkan pemerintah.
g.                   Menghilangkan unsur kapitalisasi pilkada, menekan biaya operasional yang penyelenggarannya dan pembiayaannya tidak membebani pemerintah daerah.
h.                   Pengawasan dari pemerintah secara intensif terhadap seluruh pelaku politik, masyarakat dan penyelenggara, bertindak berdasarkan peraturan yang berlaku.
i.                     Penerapan prinsip equality before the law dan supremasi hukum secara tegas bagi siapapun bagi pelaku korupsi dengan kewajiban mengembalikan semua harta bergerak dan tidak bergerak yang didapatkan dari hasil korupsi (pemiskinan koruptor).



[1] Norris, Pippa. 2014. The Concept of Electoral Integrity. In Why Electoral Integrity Matter. Cambridge: Cambridge University Press, hal. 21-39.
[2]

Masalah Domestik Mutakhir Praktek Penggunaan Dana Pilkada Di Indonesia Masalah Domestik Mutakhir Praktek Penggunaan Dana Pilkada Di Indonesia Reviewed by disment_idu9 on February 11, 2019 Rating: 5

No comments:

Gallery

Powered by Blogger.