Arah Kecenderungan dan Implikasi Konflik Politik Terhadap Eksistensi NKRI

ARAH KECENDERUNGAN DAN IMPLIKASI KONFLIK POLITIK TERHADAP EKSISTENSI NKRI


Disusun oleh:
Kelompok 2
Dodi Andrian                        120180301008
Faisol Abdul Kharis              120180301009
Fautia Erfanisa                     120180301011
Mohammad Ali                     120180301015
Saifuli Sofiah                        120180301022


Latar Belakang                                                                                               
Di era digital seperti saat ini, konflik politik yang terjadi pada bentrokan perlahan-lahan mulai memanfaatkan teknologi (media sosial) untuk menjatuhkan lawan politik. Politik Indonesia sekarang mendominasi media sosial. Setiap hari rakyat disuguhi dengan berbagai berita politik yang sudah mendarah danging di Indonesia, dari ujung barat hingga ujung timur. Saat ini kondisi politik di Indonesia sangat miris. Pejabat yang memiliki kekuasaan telah melupakan tanggung jawabnya sehingga membuat rakyat semakin menderita. Janji-janji yang dulu di buat justru di lupakan seiring dengan kursi jabatannya. Para pejabat masih saja sibuk mengurusi kursi jabatannya. Sehingga lagi-lagi mereka melupakan rakyat. Semisal contoh kasus korupsi E-KTP yang tidak menemukan titik penyelesaian hingga saat ini. 


Lalu ada apa dengan Indonesia saat ini?
Akhirnya rakyat yang menjadi korban dari kondisi politik sekarang. Para pimpinan bangsa ini masih terlalu sibuk untuk terus berebut kekuasaan. Sebenarnya politik layaknya seperti pisau. Bila pisau tersebut di gunakan untuk memasak maka pisau itu akan bermanfaat. Sebaliknya maka apabila digunakan oleh seorang pembunuh akan sangat berbahaya yang membawa kepada kematian. Begitu pula dengan politik ia akan menjadi sebuah alat untuk mencapai kebahagiaan atau malah menjadi sebuah kesengsaraan bagi rakyatnya. Para politikus yang ada justru mampu memberikan sebuah kesejukan di tengah gerahnya suasana politik yang ada. Para politikus masih terlalu sibuk, padahal rakyat yang tak berdosa diluar sana menjadi korban mereka[1].  
Kemudian, dari segi pemanfaatan teknologi seperti media sosial, ada juga sindikat penyebar hoax di internet, yang baru-baru ini diamankan oleh kepolisian. Diprediksi ada beberapa kelompok di media sosial yang tidak akan menghentikan penyebaran hoax, meskipun beberapa anggotanya sudah ditangkap. Menurut para pengamat, kelompok seperti ini akan terus bermunculan, terutama menjelang pemilihan kepala daerah serentak tahun 2018, dan pemilihan umum 2019. Kabar palsu di internet kini menjadi alat untuk saling menjatuhkan para kandidat politik.
Pembahasan
Pada dasarnya politik selalu mengandung konflik dan persaingan kepentingan. Suatu konflik biasanya berawal dari kontroversi-kontroversi yang muncul dalam berbagai peristiwa politik, dimana kontroversi tersebut diawali dengan hal-hal yang abstrak dan umum, kemudian bergerak dan berproses menjadi suatu konflik[2]. Konflik politik merupakan salah satu bentuk konflik sosial, dimana keduanya memiliki ciri-ciri mirip, hanya yang membedakan konflik sosial dan politik adalah kata politik yang membawa konotasi tertentu bagi istilah konflik politik, yakni mempunyai keterkaitan dengan negara atau pemerintah, para pejabat politik atau pemerintahan, dan kebijakan[3].
Sebagai aktivitas politik, konflik merupakan suatu jenis interaksi (interaction) yang ditandai dengan bentrokan atau tubrukan diantara kepentingan, gagasan, kebijaksanaan, program, dan pribadi atau persoalan dasar lainnya yang satu sama lain saling bertentangan. Dengan demikian, makna benturan diantara kepentingan tadi, dapat digambarkan seperti perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan antara individu dan individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan individu atau individu, kelompok dengan pemerintah[4].
Eric Hoffer menjelaskan bahwa salah satu faktor yang menggerakkan potensi konflik menjadi terbuka (manifest conflict) adalah faktor keinginan akan perubahan dan keinginan mendapat pengganti faktor tersebut, suatu saat mampu menggerakkan sebuah gerakan massa yang bergerak seketika, menuntut perubahan revolusioner[5].
Konflik sebagai akibat dari menajamnya perbedaan dan kerasnya benturan kepentingan yang saling berhadapan, disebabkan oleh beberapa latar belakang yang ada, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1.    Adanya latar belakang sosial politik, ekonomi dan sosial budaya yang berbeda dan memiliki pengaruh yang sangat kuat.
2.    Adanya pemikiran yang menimbulkan ketidaksepahaman antara yang satu dengan yang lain.
3.    Adanya sikap tidak simpatik terhadap suatu pihak, sistem dan mekanisme yang ada dalam organisasi.
4.    Adanya rasa tidak puas terhadap lingkungan organisasi, sikap frustasi, rasa tidak senang, dan lain-lain, sementara tidak dapat berbuat apa-apa dan apabila harus meningggalkan kelompok, berarti harus menanggung resiko yang tidak kecil.
5.    Adanya dorongan rasa harga diri yang berlebih-lebihan dan berakibat  pada keinginan untuk berusaha sekuat tenaga untuk melakukan rekayasa dan manipulasi[6].
Adapun teori penyebab konflik yang terjadi dalam masyarakat diantaranya adalah sebagai berikut:
1.    Teori hubungan masyarakat, bahwa konflik yang terjadi lebih disebabkan polarisasi, ketidakpercayaan (distrust) maupun permusuhan antar kelompok yang berada ditengah-tengah masyarakat kita.
2.    Teori negosiasi prinsip, bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras serta perbedaan pandangan tentang konflik antara pihak-pihak yang   terlibat didalamnya[7].
3.    Teori kebutuhan manusia, bahwa konflik yang muncul ditengah masyarakat  disebabkan perebutan kebutuhan dasar  manusia,  seperti  kebutuhan fisik, mental dan sosial yang tidak terpenuhi dalam perebutan tersebut.
4.    Teori identitas, bahwa konflik lebih disebabkan identitas yang terancam atau berakar   dari   hilangnya   sesuatu   serta   penderitaan   masa   lalu   yang   tidak terselesaikan.
5.    Teori transformasi konflik, bahwa konflik disebabkan oleh hadirnya masalah masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam ranah kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan.
Suatu konflik dalam politik biasanya berawal dari kontroversi-kontroversi atau isu-isu yang muncul dalam berbagai kegiatan dan peristiwa politik. Kontroversi tersebut diawali dengan hal-hal yang bersifat abstrak dan umum, kemudian bergerak dan berproses menjadi suatu konflik.
Manajemen konflik merupakan sebuah sistem tawar-menawar dan bernegosiasi, dimana dalam konteks demokrasi dapat membantu mengatasi konflik antar kelompok dan menggiring mereka ke dalam dialog dan debat politik dan menjauhkan mereka dari kekerasan di jalan. Tujuan manajemen konflik adalah menjaga supaya perselisihan yang ada bisa disalurkan ke dalam upaya negosiasi dan mencegahnya jangan sampai mengalami peningkatan yang berujung pada konfrontasi dan kekerasan[8].
Beberapa cara yang dapat ditempuh dalam menyikapi permasalahan ini diantaranya adalah sebagai berikut:
1.    Penyelengaraan pendidikan, perdamaian dan keadilan, di institusi-institusi formal, informal maupun non formal. Dalam kerangka ini anggota masyarakat diarahkan untuk memiliki pengetahuan, sikap dan ketrampilan damai dan adil kepada sesama manusia.
2.    Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam  pengambilan keputusan.
3.    Membangun pemerintah global. Pemerintah yang baik setidaknya memberikan peluang kepada proses konsultif, rakyat pemerintah dan masyarakat madani untuk semakin mandiri[9].
Kesimpulan
Dengan demikian bahwa didalam penyelesaian konflik atau resolusi konflik sesungguhnya merupakan suatu proses mendiskusikan sebuah atau serangkaian isu, mencapai kesepakatan, dan melaksanakannya, kemudian menghilangkan akar penyebab konflik sebisa mungkin. Sejauh perangkat peraturan itu dipandang adil oleh segenap lapisan masyarakat dan tidak ada kelompok mayoritas yang menentang atau berniat mengganti peraturan itu, konflik yang ada bisa dikatakan berhasil diselesaikan.
Daftar Referensi
Fisher, Simon dkk. 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Jakarta: The British Council Indonesia.
Hidayat, Imam. 2009. Teori-teori Politik. Malang: Setara Press.
Hoffer, Eric. 1998. Gerakan Massa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mulyaningsih, Eka. 2018. “Kondisi Politik Memprihatinkan Indonesia”. diakses melalui <https://www.kompasiana.com/ekamulyaningaih/5aa788e7bde57543d94105e4/kondisi-politik-memprihatinkan-indonesia> pada 28 Januari 2019.
Rauf, Maswadi. 2001. Konsensus dan Konflik Politik. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Siska, Timothy D. dkk. 2002. Demokrasi di Tingkat Lokal: Keterlibatan,Keterwakilan, Pengelolaan Konflik dan Kepemerintahan. Jakarta: International Institute Democracy and Electoral Assistance.



[1] Eka Mulyaningsih, “Kondisi Politik Memprihatinkan Indonesia”, 2018, diakses melalui <https://www.kompasiana.com/ekamulyaningaih/5aa788e7bde57543d94105e4/kondisi-politik-memprihatinkan-indonesia> pada 28 Januari 2019.
[2] Imam Hidayat, Teori-teori Politik, (Malang: Setara Press, 2009), hlm 104.
[3] Maswadi Rauf, Konsensus dan Konflik Politik, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2001), hlm. 19
[4] Ibid, hlm 147
[5] Eric Hoffer, Gerakan Massa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998).
[6] Imam Hidayat, Teori-teori Politik, (Malang: Setara Press, 2009), hlm 76.
[7] Simon Fisher, dkk., Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, (Jakarta: The British Council Indonesia, 2001),  hlm 7-8.
[8]  Timothy D. Siska, dkk, Demokrasi di Tingkat Lokal: Keterlibatan,Keterwakilan, Pengelolaan Konflik dan Kepemerintahan, (Jakarta: International Institute Democracy and Electoral Assistance, 2002), hlm 96.
[9] Ibid, hlm. 147-153.
Arah Kecenderungan dan Implikasi Konflik Politik Terhadap Eksistensi NKRI Arah Kecenderungan dan Implikasi Konflik Politik Terhadap Eksistensi NKRI Reviewed by disment_idu9 on January 30, 2019 Rating: 5

1 comment:

Gallery

Powered by Blogger.