MEMBANGUN POLA PIKIR PENDIDIKAN BELA NEGARA

  Pembina IV/a Hery Yuniarto.S.E.,M.SI (Han)



1.    Pendahuluan

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat dicapai dan diwujudkan melalui sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia, mulai dari jaman kerajaan sampai dengan masa-masa kebangkitan, mulai diikrarkannya Sumpah Palapa dan Sumpah Pemuda sampai dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia. Perjuangan tersebut  melalui proses yang memerlukan berbagai pengorbanan, baik harta maupun nyawa.  Kerelaan  para pejuang dan pahlawan bangsa untuk berkorban demi NKRI dilandasi jiwa nasionalisme dan bela negara yang tinggi.  Nasionalisme merupakan kesadaran diri suatu bang­sa dan telah menjadi doktrin utama sejak akhir abad ke-18 (Kedourie, 1996). Dalam arti umum dan netral, menurut Greenfeld dan Chirot (1994) istilah nasionalisme mengacu pada seperangkat gagasan dan sentimen yang membentuk kerangka konseptual tentang identitas nasional yang sering hadir bersama dengan berbagai identitas lain seperti okupasi, agama, suku, linguistik, teritorial, kelas, gender, dan Iain-lain.  Apabila menyangkut tentang kepentingan negara, mereka akan membelanya sampai pada titik darah penghabisan.  Itulah sikap dan jiwa yang telah ditunjukkan oleh para pejuang dan pahlawan bangsa dalam upaya mencapai kemerdekaan dan mewujudkan NKRI. Kemerdekaan merupakan “jembatan emas” menuju cita-cita demokrasi, sedangkan pembentukan nation and character building dilakukan di dalam prosesnya.

Bela Negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-UndangDasar 1945 dalam menjalin kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seutuhnya. Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara dan syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang. Kesadaran bela negara itu hakikatnya kesediaan berbakti pada negara dan kesediaan berkorban membela negara. Spektrum bela negara itu sangat luas, dari yang paling halus, hingga yang paling keras. Mulai dari hubungan baik sesama warga negara sampai bersama-sama menangkal ancaman nyata musuh bersenjata. Tercakup di dalamnya adalah bersikap dan berbuat yang terbaik bagi bangsa dan Negara. Di Indonesia proses pembelaan negara sudah diatur secara formal ke dalam Undangundang. Diantaranya sudah tersebutkan ke dalam Pancasila serta Undang-undang Dasar 1945, khususnya pasal 30. Didalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa membela bangsa merupakan kewajiban seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.

Menyikapi era globalisasi sekarang ini dapat menjadi peluang dan tantangan terhadap masa depan bangsa. Era globalisasi dapat memberikan ancaman, tantangan, gangguan, maupun hambatan baik dari aspek ideologi, politik, sosial budaya, maupun pertahanan dan keamanan. Nilai-nilai Pancasila dapat dipergunakan untuk menangkal hal tersebut. Dalam penyelesaian konflik, serta mematahkan setiap ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan terhadap keutuhan bangsa masih dapat kita atasi bersama berdasarkan kaidah demokrasi Pancasila, yang menjunjung tinggi sifat kekeluargaan dan gotong royong. Artinya, Pancasila merupakan etika sosial, yaitu seperangkat nilai yang secara terpadu harus diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila merupakan suatu sistem, karena keterkaitan antar sila-silanya, menjadikan Pancasila suatu kesatuan yang utuh. Pengamalan yang baik dari satu sila, sekaligus juga harus diamalkannya dengan baik sila-sila yang lain. Karena posisi Pancasila sebagai idiologi negara tersebut, maka berdasarkan Tap MPR No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang masih dinyatakan berlaku berdasarkan Tap MPR No.I/MPR/2003, bersama ajaran agama khususnya yang bersifat universal, nilai-nilai luhur budaya bangsa sebagaimana tercermin dalam Pancasila itu menjadi “acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa”. Etika sosial dimaksud mencakup aspek sosial budaya, politik dan pemerintahan, ekonomi dan bisnis, penegakkan hukum yang berkeadilan, keilmuan, serta lingkungan. Secara terperinci, makna masing-masing etika sosial ini dapat disimak dalam Tap MPR No.VI/MPR/2001.

Pendidikan bela negara dapat menjadi alat disemenasi nilai-nilai Pancasila untuk seluruh bangsa Indonesia. Perlunya Pendidikan Bela Negara karena disadari sepenuhnya bahwa kesadaran bela negara bukanlah sesuatu yang tumbuh dengan sendirinya dalam diri setiap warga negara. Diperlukan upaya-upaya sadar dan terencana secara matang untuk menanamkan dalam diri warga negara landasan dan nilai-nilai bela negara sebagai berikut, yaitu : (a). cinta terhadap tanah air, (b).sadar berbangsa dan bernegara, (c). yakin akan Pancasila sebagai ideologi negara dan (d). rela berkorban untuk bangsa dan negara Indonesia serta (e). Memiliki kemampuan awal bela negara. Hal tersebut menjadi dasar dari pola pikir pendidikan bela negara. Oleh karena itu penulis ingin mengkaji mengenai pembangunan pola pikir pendidikan bela negara.. 

 

2.    Kajian Literatur

a.      Jati Diri

Menurut Arnold Dashefsky dalam Ubaidilah, dkk (2000:23) jati diri atau identity (identitas) dapat mempunyai arti, yaitu: pertama, jatidiri atau identitas menunjuk pada ciri-ciri yang melekat pada diri seseorang atau sebuah benda, kedua jatidiri atau identitas berupa surat keterangan yang dapat menjelaskan pribadi seseorang dan riwayat hidup seseorang. Jati diri seseorang dapat berkembang melalui beberapa tahapan.  Erik Erikson (1963: 5-9) dalam bukunya “Childhood and Society” yang terkenal dengan teori perkembangan psikososial menjelaskan bahwa perkembangan jati diri manusia berjalan melalui 8 (delapan) tahapan yang mencakup Kepercayaan vs Kecurigaan, Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu, Inisiatif vs Kesalahan, Kerajinan vs Inferioritas, Identitas vs Kekacauan Identitas, Keintiman vs Isolasi, Generatifitas vs Stagnasi, Integritas vs Keputusasaan. Jati diri merupakan potensi yang dapat memancar dan ditumbuhkembangkan dalam membentuk karakter dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu diantaranya hati yang bersih dan sehat.

 

b.     Karakter

Menurut bahasa (etimologis)istilah karakter berasal dari bahasa Latin kharakter, kharassaein, dan kharax, dalam bahasa Yunani characterdari katacharassaein, yang berarti membuat tajam dan membuat dalam.  Dalam bahasa Inggris character  dan dalam bahasa Indonesia lazim digunakan dengan istilah karakter (Majid dan Andayani, 2010).   Simon Philips (2008:12) mengartikan bahwa karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan.  Sementara itu, Hermawan Kartajaya (2010:7) mendefinisikan karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu (manusia).  Ciri khas tersebut adalah asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut dan merupakan mesin pendorong bagaimana seseorang bertindak, bersikap, berujar, serta merespon sesuatu.

 

c. Kepribadian

Syamsu Yusuf (2010) mengartikan bahwa kepribadian menurut bahasa merupakan terjemah dari bahasa Inggris yakni dari kata personality. Kata personalitysendiri berasal dari bahasa  Latin yakni dari kata Personyang berarti kedok atau topeng dan personare yang berarti menebus. Persona biasanya digunakan oleh para pemain sandiwara pada zaman kuno untuk untuk memerankan suatu karakter pribadai tertentu. Sedangkan yang dimaksud personare bahwa para pemain sandiwara itu dengan kedoknya berusaha menebus ke luar untuk mengekspresikan suatu karakter orang tertentu. Misalnya pemarah, pemurung, pendiam dan lain sebagainya.

Dalam pengertian lain, kepribadian sering dimaknai dengan “Personality is your effect upon other people” yakni pengaruh seseorang kepada orang lain. Berdasarkan pengertian ini , orang yang besar pengaruhnya maka disebut berpribadi. Pengaruh tersebut dapat dilatarbelakangi oleh ilmu pengetahuannya, kekuasaannya, kedudukannya, atau karena popularitasnya, dan lain sebagainya (Syaodih S., 2005). Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka kepribadian dapat diartikan keseluruhan sikap, ekspresi, temperamen, perilaku dan menjadi ciri khas dari setiap orang. Sikap, perasaan, ekspresi dan temperamen tersebut diwujudkan ke dalam tindakan seseorang bila dihadapkan pada situasi tertentu. Setiap orang cenderung memiliki perilaku yang baku dan berlaku terus menerus serta konsisten dalam menghadapi situasi yang sedang dihadapinya, yang selanjutnya menjadi ciri khas pribadi dirinya.

 

d. Wawasan Kebangsaan

Wawasan kebangsaan adalah cara pandang kita terhadap diri sendiri sebagai bangsa yang harus mencerminkan rasa dan semangat kebangsaan (karakter bangsa) dan mampu mempertahankan jati dirinya sebagai bangsa yang berkarakter Pancasila. Wawasan kebangsaan memosisikan bangsa secara futurologis, yakni pada jangkauan waktu jauh ke depan yang harus realistic, credible, and workable. Pencanangan ini hanya bisa dilakukan oleh suatu bangsa yang tahu siapa dirinya atau bangsanya dan harus dapat menampilkan jati dirinya dengan kematangan jiwa, daya juang tinggi dan kekuatan bangsa yang kokoh kuat.

Hal ini diperkuat dengan pendapat Profesor Muladi, Gubernur Lemhannas RI yang menyatakan bahwa wawasan kebangsaan adalah cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan kesatuan dan persatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kesatuan atau integrasi nasional bersifat kultural dan tidak hanya bernuansa struktural mengandung satu kesatuan ideologi, kesatuan politik, kesatuan sosial budaya, kesatuan ekonomi, dan kesatuan pertahanan dan keamanan”.

Bennedict Anderson (1992:24) juga berpendapat bahwa wawasan kebangsaan merupakan jiwa, cita-cita, atau falsafah hidup yang tidak lahir dengan sendirinya. Ia sesungguhnya merupakan hasil konstruksi dari realitas sosial dan politik (sociallyand politicallyconstructed). Perhatian Moh. Hatta mengenai wawasan kebangsaan adalah bagian penting dari konstruksi pemimpin bangsa terhadap bangunan citra (image) bangsa Indonesia. Apapun perbedaan pandangan elit tersebut, persepsi itu telah membentuk kerangka berpikir masyarakat tentang wawasan kebangsaan.

 

e. Pola Pikir

Pola Pikir atau mindset adalah sekumpulan kepercayaan (belief) atau cara berpikir yang mempengaruhi perilaku dan sikap seseorang, yang akhirnya akan menentukan level keberhasilan hidupnya, (Gunawan, 2007).   Carol S. Dweck (2007) dalam bukunya Change Your Mindset-Change Your Life, mengatakan bahwa pada dasarnya ada dua jenis pola pikir manusia, yaitu pola pikir tetap dan pola pikir berkembang. Sementara itu, menurut William James (1959:24) bahwa pola pikir akan terbentuk melalui “IMPRINT“ yaitu proses pembiasaan diri atau pengalaman yang direkam sejak masa kecil pada seseorang. Sedangkan imprinting adalah suatu proses reaksi tingkah laku yang diperoleh orang selama masih sangat muda dalam kehidupan.

 

f. Bela Negara

Bela Negara adalah sebuah konsep yang disusun oleh perangkat perundangan dan petinggi suatu negara tentang patriotisme seseorang, suatu kelompok atau seluruh komponen dari suatu negara dalam kepentingan mempertahankan eksistensi negara tersebut. Setiap warga negara memiliki kewajiban yang sama dalam masalah pembelaan negara. Hal tersebut merupakan wujud kecintaan seorang warga negara pada tanah air yang sudah memberikan kehidupan padanya. Hal ini terjadi sejak seseorang lahir, tumbuh dewasa serta dalam upayanya mencari penghidupan. Program Nawa Cita Kabinet Kerja Jokowi-JK telah menempatkan salah satu programnya (Poin 8) adalahmelakukan Revolusi Karakter Bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta tanah air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia”.Pendukung visi Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong-royong. Diimplementasikan melalui peningkatan sikap dan perilaku serta kemampuan awal bela negara, yang sering disebut dengan istilah Pembinaan Kesadaran Bela Negara. Pembentukan sikap dan perilaku merupakan penjabaran dari Desain Induk (Grand Design) Pembinaan Kesadaran Bela Negara yang diimplementasikan sesuai dengan profesi di lingkungan pendidikan, pemukiman, dan pekerjaan (Pothan, 2016:34-36). Adapun pelaksanaannya menggunakan metode ceramah, seminar, diskusi, pendidikan dan pelatihan yang dilakukan secara terpusat (Kementerian/Lembaga) maupun tersebar di seluruh wilayah NKRI.

 

 

3.    Metode

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor sebagaimana dikutip Lexy J. Moleong (2000), penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Sedangkan penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau mendeskripsikan fenomena yang ada, baik fenomena alam maupun rekayasa manusia. Metode deskriptif dipilih karena penelitian yang dilakukan berkaitan dengan kejadian yang sedang berlangsung dan dengan memperhatikan kondisi saat ini. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Tinjauan Pustaka adalah metode yang digunakan untuk mengumpulkan data atau sumber yang berkaitan dengan topik yang diangkat dalam sebuah penelitian. Studi literatur dapat diperoleh dari berbagi sumber di jurnal, buku, dokumentasi, internet dan perpustakaan. Setelah data terkumpul, proses selanjutnya adalah menganalisis data. Dalam memberikan interpretasi terhadap data yang diperoleh, peneliti menggunakan metode deskriptif. Teknik analisis deskriptif adalah teknik penelitian yang meliputi proses pengumpulan data yang telah terkumpul dan disusun kemudian dianalisis sehingga diperoleh data penelitian yang jelas. (Surachmad, 1998). Metode ini cocok dalam penelitian ini karena penelitian ini berupaya menemukan gambaran dalam membangun pola pikir pendidikan bela negara.

 

4.    Hasil dan Diskusi

Kesadaran bela negara bukanlah sesuatu yang tumbuh dengan sendirinya dalam diri setiap warga negara. Diperlukan upaya-upaya sadar dan terencana secara matang untuk menanamkan dalam diri warga negara landasan dan nilai-nilai bela negara sebagai berikut, yaitu : (a). cinta terhadap tanah air, (b).sadar berbangsa dan bernegara, (c). yakin akan Pancasila sebagai ideologi negara dan (d). rela berkorban untuk bangsa dan negara Indonesia serta (e). Memiliki kemampuan awal bela negara. Kelima nilai dasar bela negara hendaknya dipandang sebagai keutamaan keutamaan hidup yang harus dihayati oleh para warga negara pada semua lapisan. Demikan pendidikan dipandang sebagai jalan atau sarana yang paling tepat untuk menyadarkan para warga negara akan pentingnya nilai-nilai bela negara. Karena sebagai sarana penyadaran (konsientisasi), pendidikan menerangi cipta (akal), menggugah dan menghangatkan rasa (emosi), dan memperteguh karsa (kehendak) para warga negara sehingga mereka memiliki rasa-memiliki (sense of belonging), rasa tanggung jawab (sense of responsibility) dan komitmen yang tinggi terhadap nasib bangsa dan negaranya. “Outcome” atau hasil yang diharapkan dari pendidikan kesadaran bela negara adalah warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya membela negara, dan yang mampu menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa.

Kementerian Pertahanan sebagai instansi yang menyelenggarakan pendidikan dan/atau pembinaan kesadaran bela negara, mengklasifikasikan sasaran pembinaan dalam tiga lingkup yaitu : pendidikan, pekerjaan dan pemukiman. Tugas ini direalisasikan dalam kerja sama yang erat dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang khusus mengemban tugas kependidikan bagi seluruh warga negara. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mempunyai Program Pendidikan Kewarganegaraan di semua tingkat pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Pendidikan Tinggi ( pasal 37 Undang Undang R.I. Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengamanatkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu kurikulum wajib ). Mengingat tugas utama dan pertama pendidikan kesadaran bela negara, yang diemban oleh Kementerian Pertahanan adalah menanamkan nilai-nilai keutamaan bela negara bagi warga negara dan merupakan pendidikan dasar bagi warga negara, maka pendidikan kesadaran bela negara sesungguhnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pendidkan kewarganegaraan (civic education).

Adanya program pendidikan kesadaran bela negara dapat lebih menyadarkan warga negara, bahwa hal bela negara bukanlah semata-mata amanat konstitusi yang pelaksanaannya bersifat “perintah”, melainkan lebih merupakan amanat kodrat kemanusiaan. Kemanusiaan kita, kodrat kita sebagai makhluk sosial menggerakkan kita sebagai warga negara untik membela mati-matian negara, apapun konsekuensi yang harus kita hadapi. Kita adalah makhluk ciptaan yang selalu ingin hidup bersama orang lain dalam suatu jaringan “saling tergantung” orang lain dalam suatu ikatan sosial. Oleh karena itu tugas membela negara merupakan suatu kewajiban, bahkan suatu keharusan dan keniscayaan eksistensial warga negara, yang keluar dari eksitensi kita sebagai homo sociale. Tugas pembelaan negara dan/ atau mempertahankan eksistensi negara, baik kedaulatannya, keutuhan wilayahnya, maupun keselamatan segenap rakyatnya, dari segala bentuk ancaman, fisik dan non-fisik, militer dan non-militer adalah tugas eksistensial yang bersifat tetap dari sebuah negara yang setelah terbentuk dan sepanjang sejarahnya. Cara pandang yang eksistensial ini memudahkan kita dalam seluruh proses pendidikan dan/atau pembentukan kesadaran bela negara dalam diri para warga negara.

Dalam pendidikan bela negara harus memasukkan konsep jati diri, karakter, kepribadian, jati diri bangsa, wawasan kebangsaan sampai dengan wawasan nusantara.   Jati diri bangsa adalah Pancasila, tampil dalam tiga fungsi yaitu : Pertama, Penanda keberadaan atau eksistensinya (bangsa yang tidak mempunyai jati diri tidak akan eksis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara); Kedua, Pencerminan kondisi bangsa yang menampilkan kematangan jiwa, daya juang, dan kekuatan bangsa (tercermin dalam kondisi bangsa pada umumnya dan kondisi ketahanan bangsa pada khususnya); Ketiga, Pembeda dengan bangsa lain di dunia (disinilah harus tampak makna Pancasila sebagai yang harus bisa kita banggakan dan unggulkan, yang merupakan pembeda dari bangsa-bangsa lain di dunia).

KEPRIBADIAN

JATI DIRI

KARAKTER

JATI DIRI BANGSA

WAWASAN KEBANGSAN

WAWASAN NUSANTARA

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 4.1 Visualisasi Pembangunan Karakter Bangsa

Sumber: Penulis

 

Pola dari jati diri bangsa adalah Pancasila yang causa materialisnya bersumber pada nilai-nilai budaya bangsa yang disebut people character atau dalam suatu negara disebut sebagai national identity (Puspowardojo, 1989:5), sehingga jati diri bangsa menjadi sesuatu yang membuat cepat mengenali bangsanya dari tutur kata, perilaku dan pandangannya. Jati diri, singkatnya adalah semacam moralitas publik yang menjadi pegangan kehidupan orang per orang dalam sebuah bangsa. Khusus pola pikir berkembang (growth mindset) dapat dibangun dan dikembangkan sejak usia dini secara bertahap dan berkelanjutan. Jika dikaitkan dengan pembangunan karakter bangsa Indonesia, pembangunan dan pengembangan growth mindset tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan bentuk atau model tertentu dengan diawali dari pembentukan jati diri, karakter, kepribadian, jati diri bangsa, wawasan kebangsaan sampai dengan wawasan nusantara.   Model tersebut dapat divisualisasikan dalam gambar 4.1.

 

5.    Kesimpulan

Upaya sadar dan terencana secara matang untuk menanamkan dalam diri warga negara landasan dan nilai-nilai bela negara. Kementerian Pertahanan sebagai instansi yang menyelenggarakan pendidikan dan/atau pembinaan kesadaran bela negara, mengklasifikasikan sasaran pembinaan dalam tiga lingkup yaitu : pendidikan, pekerjaan dan pemukiman. Tugas ini direalisasikan dalam kerja sama yang erat dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang khusus mengemban tugas kependidikan bagi seluruh warga negara. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mempunyai Program Pendidikan Kewarganegaraan di semua tingkat pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Pendidikan Tinggi ( pasal 37 Undang Undang R.I. Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengamanatkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu kurikulum wajib ). Dalam pendidikan bela negara harus memasukkan konsep jati diri, karakter, kepribadian, jati diri bangsa, wawasan kebangsaan sampai dengan wawasan nusantara. Maka dari itu perlu pengembangan pola pikir (growth mindset) yang dilakukan dengan menggunakan bentuk atau model tertentu dengan diawali dari pembentukan jati diri, karakter, kepribadian, jati diri bangsa, wawasan kebangsaan sampai dengan wawasan nusantara.    

 

6.    Referensi

As’ad, Mohammad. (2000).Psikologi Industri. Yogyakarta:Liberty.

Bakri, Omar. (1981). Bunga Rampai Sumpah Pemuda, Satu Bahasa: Bahasa Indonesia., Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Benedict Anderson. (1991).Imagined Community: Reflection on the origin and spread of Nationalism. London.

Dahl,  Robert A. Dillemas of Pluralist Democracy: Autonomy vs Control. Yale University Press, 1982

Dahlan, Abdul Aziz dkk. (1996).Ensiklopedi Hukum Islam.Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.

Dweck, Carol S. (2007). Change Your Mindset-Change Your Life. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Erik Erikson (1963). Childhood and Society. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Greenfeld, L. and D. Chirot. (1994). “Nationalism and Agression”, dalam Theory and Society 23 (1).

Gunawan, Adi W. (2007). The Secret of Mindset. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Heri Gunawan. (2014). Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi. Bandung: Alfabeta.

James, William. Pragmatisme: and Four Essays from The Meaning of Truth. New York: Meridian Book, 1959.

Kaelan.(2010). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Kedourie,E. (1996). Nationalism.London: Hutchinson University Library.


MEMBANGUN POLA PIKIR PENDIDIKAN BELA NEGARA MEMBANGUN POLA PIKIR PENDIDIKAN BELA NEGARA Reviewed by Manajemen Bencana untuk Keamanan Nasional on December 04, 2022 Rating: 5

No comments:

Gallery

Powered by Blogger.