Pembina IV/a Hery Yuniarto.S.E.,M.SI (Han)
1.
Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dapat dicapai dan diwujudkan melalui sejarah panjang perjuangan bangsa
Indonesia, mulai dari jaman kerajaan sampai dengan masa-masa kebangkitan, mulai
diikrarkannya Sumpah Palapa dan Sumpah Pemuda sampai dengan diproklamasikannya
kemerdekaan Indonesia. Perjuangan tersebut
melalui proses yang memerlukan berbagai pengorbanan, baik harta maupun
nyawa. Kerelaan para pejuang dan pahlawan bangsa untuk berkorban
demi NKRI dilandasi jiwa nasionalisme dan bela negara yang tinggi. Nasionalisme merupakan kesadaran diri suatu bangsa dan
telah menjadi doktrin utama sejak akhir abad ke-18 (Kedourie, 1996). Dalam arti umum dan netral,
menurut Greenfeld dan Chirot (1994) istilah nasionalisme mengacu pada
seperangkat gagasan dan sentimen yang membentuk kerangka konseptual tentang
identitas nasional yang sering hadir bersama dengan berbagai identitas lain
seperti okupasi, agama, suku, linguistik, teritorial, kelas, gender, dan
Iain-lain. Apabila
menyangkut tentang kepentingan negara, mereka akan membelanya sampai pada titik
darah penghabisan. Itulah sikap dan jiwa
yang telah ditunjukkan oleh para pejuang dan pahlawan bangsa dalam upaya
mencapai kemerdekaan dan mewujudkan NKRI. Kemerdekaan merupakan “jembatan emas” menuju cita-cita
demokrasi, sedangkan pembentukan nation and character building dilakukan
di dalam prosesnya.
Bela
Negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya
kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-UndangDasar 1945 dalam menjalin kelangsungan hidup bangsa dan negara
yang seutuhnya. Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pembelaan negara dan syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan
undang-undang. Kesadaran bela negara itu hakikatnya kesediaan berbakti pada
negara dan kesediaan berkorban membela negara. Spektrum bela negara itu sangat
luas, dari yang paling halus, hingga yang paling keras. Mulai dari hubungan baik
sesama warga negara sampai bersama-sama menangkal ancaman nyata musuh
bersenjata. Tercakup di dalamnya adalah bersikap dan berbuat yang terbaik bagi
bangsa dan Negara. Di Indonesia proses pembelaan negara sudah diatur secara
formal ke dalam Undangundang. Diantaranya sudah tersebutkan ke dalam Pancasila
serta Undang-undang Dasar 1945, khususnya pasal 30. Didalam pasal tersebut,
dijelaskan bahwa membela bangsa merupakan kewajiban seluruh rakyat Indonesia
tanpa terkecuali.
Menyikapi
era globalisasi sekarang ini dapat menjadi peluang dan tantangan terhadap masa
depan bangsa. Era globalisasi dapat memberikan ancaman, tantangan, gangguan,
maupun hambatan baik dari aspek ideologi, politik, sosial budaya, maupun
pertahanan dan keamanan. Nilai-nilai Pancasila dapat dipergunakan untuk
menangkal hal tersebut. Dalam penyelesaian konflik, serta mematahkan setiap
ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan terhadap keutuhan bangsa masih dapat
kita atasi bersama berdasarkan kaidah demokrasi Pancasila, yang menjunjung tinggi
sifat kekeluargaan dan gotong royong. Artinya, Pancasila merupakan etika
sosial, yaitu seperangkat nilai yang secara terpadu harus diwujudkan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila merupakan suatu sistem, karena
keterkaitan antar sila-silanya, menjadikan Pancasila suatu kesatuan yang utuh.
Pengamalan yang baik dari satu sila, sekaligus juga harus diamalkannya dengan
baik sila-sila yang lain. Karena posisi Pancasila sebagai idiologi negara
tersebut, maka berdasarkan Tap MPR No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan
Berbangsa yang masih dinyatakan berlaku berdasarkan Tap MPR No.I/MPR/2003,
bersama ajaran agama khususnya yang bersifat universal, nilai-nilai luhur
budaya bangsa sebagaimana tercermin dalam Pancasila itu menjadi “acuan dasar
dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa”. Etika
sosial dimaksud mencakup aspek sosial budaya, politik dan pemerintahan, ekonomi
dan bisnis, penegakkan hukum yang berkeadilan, keilmuan, serta lingkungan.
Secara terperinci, makna masing-masing etika sosial ini dapat disimak dalam Tap
MPR No.VI/MPR/2001.
Pendidikan
bela negara dapat menjadi alat disemenasi nilai-nilai Pancasila untuk seluruh
bangsa Indonesia. Perlunya Pendidikan Bela Negara karena disadari sepenuhnya
bahwa kesadaran bela negara bukanlah
sesuatu yang tumbuh dengan sendirinya dalam diri setiap warga negara. Diperlukan upaya-upaya sadar dan terencana
secara matang untuk menanamkan dalam diri warga
negara landasan dan nilai-nilai bela negara sebagai berikut, yaitu : (a). cinta
terhadap tanah air, (b).sadar berbangsa
dan bernegara, (c). yakin akan Pancasila sebagai ideologi negara dan (d). rela berkorban untuk bangsa
dan negara Indonesia serta (e). Memiliki kemampuan
awal bela negara. Hal tersebut menjadi dasar
dari pola pikir pendidikan bela negara.
Oleh karena itu penulis ingin mengkaji mengenai pembangunan pola pikir
pendidikan bela negara..
2.
Kajian
Literatur
a.
Jati Diri
Menurut Arnold Dashefsky dalam
Ubaidilah, dkk (2000:23) jati diri atau identity
(identitas) dapat mempunyai arti, yaitu: pertama, jatidiri atau identitas
menunjuk pada ciri-ciri yang melekat pada diri seseorang atau sebuah benda,
kedua jatidiri atau identitas berupa surat keterangan yang dapat menjelaskan
pribadi seseorang dan riwayat hidup seseorang. Jati diri seseorang dapat
berkembang melalui beberapa tahapan.
Erik Erikson
(1963: 5-9) dalam bukunya “Childhood and Society” yang terkenal dengan teori
perkembangan psikososial menjelaskan bahwa perkembangan
jati diri manusia berjalan melalui 8 (delapan) tahapan yang mencakup Kepercayaan vs Kecurigaan, Otonomi vs
Perasaan Malu dan Ragu-ragu, Inisiatif
vs Kesalahan, Kerajinan vs Inferioritas, Identitas vs Kekacauan Identitas,
Keintiman vs Isolasi, Generatifitas vs
Stagnasi, Integritas vs Keputusasaan. Jati diri merupakan potensi yang dapat
memancar dan ditumbuhkembangkan dalam membentuk karakter dengan memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu diantaranya hati yang bersih dan sehat.
b.
Karakter
Menurut bahasa (etimologis)istilah karakter berasal dari
bahasa Latin kharakter, kharassaein, dan kharax, dalam bahasa Yunani characterdari
katacharassaein, yang berarti membuat
tajam dan membuat dalam. Dalam bahasa
Inggris character dan dalam bahasa Indonesia lazim digunakan
dengan istilah karakter (Majid dan Andayani, 2010). Simon Philips (2008:12) mengartikan bahwa
karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang
melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sementara itu, Hermawan Kartajaya (2010:7)
mendefinisikan karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau
individu (manusia). Ciri khas tersebut
adalah asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut dan
merupakan mesin pendorong bagaimana seseorang bertindak, bersikap, berujar,
serta merespon sesuatu.
c. Kepribadian
Syamsu
Yusuf (2010) mengartikan bahwa kepribadian menurut bahasa merupakan terjemah
dari bahasa Inggris yakni dari kata personality.
Kata personalitysendiri berasal dari
bahasa Latin yakni dari kata Personyang berarti kedok atau topeng dan personare yang berarti menebus. Persona biasanya digunakan oleh
para pemain sandiwara pada zaman kuno untuk untuk memerankan suatu karakter
pribadai tertentu. Sedangkan yang dimaksud personare bahwa para pemain
sandiwara itu dengan kedoknya berusaha menebus ke luar untuk mengekspresikan suatu
karakter orang tertentu. Misalnya pemarah, pemurung, pendiam dan lain
sebagainya.
Dalam
pengertian lain, kepribadian sering dimaknai dengan “Personality is your effect upon other people” yakni pengaruh
seseorang kepada orang lain. Berdasarkan pengertian ini , orang yang besar
pengaruhnya maka disebut berpribadi. Pengaruh tersebut dapat dilatarbelakangi
oleh ilmu pengetahuannya, kekuasaannya, kedudukannya, atau karena
popularitasnya, dan lain sebagainya (Syaodih S., 2005). Berdasarkan beberapa
pengertian di atas, maka kepribadian dapat diartikan keseluruhan sikap,
ekspresi, temperamen, perilaku dan menjadi ciri khas dari setiap orang. Sikap,
perasaan, ekspresi dan temperamen tersebut diwujudkan ke dalam tindakan
seseorang bila dihadapkan pada situasi tertentu. Setiap orang cenderung
memiliki perilaku yang baku dan berlaku terus menerus serta konsisten dalam
menghadapi situasi yang sedang dihadapinya, yang selanjutnya menjadi ciri khas
pribadi dirinya.
d. Wawasan Kebangsaan
Wawasan
kebangsaan adalah cara pandang kita terhadap diri sendiri sebagai bangsa yang
harus mencerminkan rasa dan semangat kebangsaan (karakter bangsa) dan mampu
mempertahankan jati dirinya sebagai bangsa yang berkarakter Pancasila. Wawasan
kebangsaan memosisikan bangsa secara futurologis, yakni pada jangkauan waktu
jauh ke depan yang harus realistic,
credible, and workable. Pencanangan ini hanya bisa dilakukan oleh suatu
bangsa yang tahu siapa dirinya atau bangsanya dan harus dapat menampilkan jati
dirinya dengan kematangan jiwa, daya juang tinggi dan kekuatan bangsa yang
kokoh kuat.
Hal
ini diperkuat dengan pendapat Profesor Muladi, Gubernur Lemhannas RI yang
menyatakan bahwa wawasan kebangsaan adalah “cara
pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan
kesatuan dan persatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Kesatuan atau integrasi nasional bersifat kultural dan
tidak hanya bernuansa struktural mengandung satu kesatuan ideologi, kesatuan
politik, kesatuan sosial budaya, kesatuan ekonomi, dan kesatuan pertahanan dan
keamanan”.
Bennedict
Anderson (1992:24) juga berpendapat bahwa wawasan kebangsaan merupakan jiwa,
cita-cita, atau falsafah hidup yang tidak lahir dengan sendirinya. Ia
sesungguhnya merupakan hasil konstruksi dari realitas sosial dan politik (sociallyand
politicallyconstructed). Perhatian Moh. Hatta mengenai wawasan kebangsaan
adalah bagian penting dari konstruksi pemimpin bangsa terhadap bangunan citra (image)
bangsa Indonesia. Apapun perbedaan pandangan elit tersebut, persepsi itu telah
membentuk kerangka berpikir masyarakat tentang wawasan kebangsaan.
e. Pola Pikir
Pola Pikir atau mindset adalah sekumpulan kepercayaan (belief)
atau cara berpikir yang mempengaruhi perilaku dan sikap seseorang, yang
akhirnya akan menentukan level keberhasilan hidupnya, (Gunawan, 2007). Carol S. Dweck (2007) dalam bukunya Change Your Mindset-Change Your Life,
mengatakan bahwa pada dasarnya ada dua jenis pola pikir manusia, yaitu pola pikir
tetap dan pola pikir berkembang. Sementara itu, menurut William James (1959:24)
bahwa pola pikir akan terbentuk melalui “IMPRINT“ yaitu proses pembiasaan diri
atau pengalaman yang direkam sejak masa kecil pada seseorang. Sedangkan imprinting adalah suatu proses reaksi
tingkah laku yang diperoleh orang selama masih sangat muda dalam kehidupan.
f. Bela Negara
Bela
Negara adalah sebuah konsep yang disusun oleh perangkat perundangan dan
petinggi suatu negara tentang patriotisme seseorang, suatu kelompok atau
seluruh komponen dari suatu negara dalam kepentingan mempertahankan eksistensi
negara tersebut. Setiap warga negara memiliki kewajiban yang sama dalam masalah
pembelaan negara. Hal tersebut merupakan wujud kecintaan seorang warga negara
pada tanah air yang sudah memberikan kehidupan padanya. Hal ini terjadi sejak
seseorang lahir, tumbuh dewasa serta dalam upayanya mencari penghidupan. Program Nawa Cita Kabinet Kerja Jokowi-JK telah menempatkan
salah satu programnya (Poin 8) adalah“melakukan Revolusi Karakter Bangsa melalui kebijakan
penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek
pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan,
seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan
cinta tanah air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum
pendidikan Indonesia”.Pendukung visi Indonesia
yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong-royong. Diimplementasikan
melalui peningkatan sikap dan perilaku serta kemampuan awal bela negara, yang sering disebut dengan istilah Pembinaan Kesadaran Bela
Negara. Pembentukan sikap dan perilaku merupakan penjabaran dari Desain Induk (Grand Design) Pembinaan Kesadaran Bela Negara yang diimplementasikan sesuai dengan
profesi di lingkungan pendidikan, pemukiman, dan pekerjaan (Pothan, 2016:34-36). Adapun pelaksanaannya menggunakan metode ceramah, seminar, diskusi, pendidikan dan pelatihan yang
dilakukan
secara terpusat (Kementerian/Lembaga) maupun tersebar di seluruh wilayah NKRI.
3.
Metode
Penelitian
ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Menurut Bogdan dan
Taylor sebagaimana dikutip Lexy J. Moleong (2000), penelitian kualitatif adalah
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Sedangkan penelitian
deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan
atau mendeskripsikan fenomena yang ada, baik fenomena alam maupun rekayasa
manusia. Metode deskriptif dipilih karena penelitian yang dilakukan berkaitan
dengan kejadian yang sedang berlangsung dan dengan memperhatikan kondisi saat
ini. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan. Tinjauan Pustaka adalah metode yang digunakan untuk mengumpulkan
data atau sumber yang berkaitan dengan topik yang diangkat dalam sebuah
penelitian. Studi literatur dapat diperoleh dari berbagi sumber di jurnal,
buku, dokumentasi, internet dan perpustakaan. Setelah data terkumpul, proses
selanjutnya adalah menganalisis data. Dalam memberikan interpretasi terhadap
data yang diperoleh, peneliti menggunakan metode deskriptif. Teknik analisis
deskriptif adalah teknik penelitian yang meliputi proses pengumpulan data yang
telah terkumpul dan disusun kemudian dianalisis sehingga diperoleh data
penelitian yang jelas. (Surachmad, 1998). Metode ini cocok dalam penelitian ini
karena penelitian ini berupaya menemukan gambaran dalam membangun pola pikir
pendidikan bela negara.
4.
Hasil
dan Diskusi
Kesadaran
bela negara bukanlah sesuatu yang tumbuh dengan sendirinya dalam diri setiap
warga negara. Diperlukan upaya-upaya sadar dan terencana secara matang untuk
menanamkan dalam diri warga negara landasan dan nilai-nilai bela negara sebagai
berikut, yaitu : (a). cinta terhadap tanah air, (b).sadar berbangsa dan
bernegara, (c). yakin akan Pancasila sebagai ideologi negara dan (d). rela
berkorban untuk bangsa dan negara Indonesia serta (e). Memiliki kemampuan awal
bela negara. Kelima nilai dasar bela negara hendaknya dipandang sebagai
keutamaan keutamaan hidup yang harus dihayati oleh para warga negara pada semua
lapisan. Demikan pendidikan dipandang sebagai jalan atau sarana yang paling
tepat untuk menyadarkan para warga negara akan pentingnya nilai-nilai bela
negara. Karena sebagai sarana penyadaran (konsientisasi), pendidikan menerangi
cipta (akal), menggugah dan menghangatkan rasa (emosi), dan memperteguh karsa
(kehendak) para warga negara sehingga mereka memiliki rasa-memiliki (sense of
belonging), rasa tanggung jawab (sense of
responsibility) dan komitmen yang tinggi terhadap nasib bangsa dan
negaranya. “Outcome” atau hasil yang
diharapkan dari pendidikan kesadaran bela negara adalah warga negara yang sadar
akan hak dan kewajibannya membela negara, dan yang mampu menjaga kedaulatan
negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa.
Kementerian
Pertahanan sebagai instansi yang menyelenggarakan pendidikan dan/atau pembinaan
kesadaran bela negara, mengklasifikasikan sasaran pembinaan dalam tiga lingkup
yaitu : pendidikan, pekerjaan dan pemukiman. Tugas ini direalisasikan dalam
kerja sama yang erat dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang khusus
mengemban tugas kependidikan bagi seluruh warga negara. Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan mempunyai Program Pendidikan Kewarganegaraan di semua tingkat
pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Pendidikan Tinggi ( pasal 37 Undang
Undang R.I. Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
mengamanatkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu kurikulum
wajib ). Mengingat tugas utama dan pertama pendidikan kesadaran bela negara,
yang diemban oleh Kementerian Pertahanan adalah menanamkan nilai-nilai
keutamaan bela negara bagi warga negara dan merupakan pendidikan dasar bagi
warga negara, maka pendidikan kesadaran bela negara sesungguhnya merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari pendidkan kewarganegaraan (civic education).
Adanya
program pendidikan kesadaran bela negara dapat lebih menyadarkan warga negara,
bahwa hal bela negara bukanlah semata-mata amanat konstitusi yang
pelaksanaannya bersifat “perintah”, melainkan lebih merupakan amanat kodrat
kemanusiaan. Kemanusiaan kita, kodrat kita sebagai makhluk sosial menggerakkan
kita sebagai warga negara untik membela mati-matian negara, apapun konsekuensi
yang harus kita hadapi. Kita adalah makhluk ciptaan yang selalu ingin hidup
bersama orang lain dalam suatu jaringan “saling tergantung” orang lain dalam
suatu ikatan sosial. Oleh karena itu tugas membela negara merupakan suatu
kewajiban, bahkan suatu keharusan dan keniscayaan eksistensial warga negara,
yang keluar dari eksitensi kita sebagai homo sociale. Tugas pembelaan negara
dan/ atau mempertahankan eksistensi negara, baik kedaulatannya, keutuhan
wilayahnya, maupun keselamatan segenap rakyatnya, dari segala bentuk ancaman,
fisik dan non-fisik, militer dan non-militer adalah tugas eksistensial yang
bersifat tetap dari sebuah negara yang setelah terbentuk dan sepanjang
sejarahnya. Cara pandang yang eksistensial ini memudahkan kita dalam seluruh
proses pendidikan dan/atau pembentukan kesadaran bela negara dalam diri para
warga negara.
Dalam
pendidikan bela negara harus memasukkan konsep jati
diri, karakter, kepribadian, jati diri bangsa, wawasan kebangsaan sampai dengan
wawasan nusantara. Jati diri bangsa adalah
Pancasila, tampil dalam tiga fungsi yaitu : Pertama, Penanda keberadaan atau
eksistensinya (bangsa yang tidak mempunyai jati diri tidak akan eksis dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara); Kedua, Pencerminan kondisi bangsa yang
menampilkan kematangan jiwa, daya juang, dan kekuatan bangsa (tercermin dalam
kondisi bangsa pada umumnya dan kondisi ketahanan bangsa pada khususnya);
Ketiga, Pembeda dengan bangsa lain di dunia (disinilah harus tampak makna
Pancasila sebagai yang harus bisa kita banggakan dan unggulkan, yang merupakan
pembeda dari bangsa-bangsa lain di dunia).
KEPRIBADIAN |
JATI DIRI |
KARAKTER |
JATI DIRI BANGSA |
WAWASAN KEBANGSAN |
WAWASAN NUSANTARA |
Gambar 4.1 Visualisasi Pembangunan
Karakter Bangsa
Sumber: Penulis
Pola
dari jati diri bangsa adalah Pancasila yang causa materialisnya bersumber pada
nilai-nilai budaya bangsa yang disebut people
character atau dalam suatu negara disebut sebagai national identity (Puspowardojo, 1989:5), sehingga jati diri bangsa
menjadi sesuatu yang membuat cepat mengenali bangsanya dari tutur kata,
perilaku dan pandangannya. Jati diri, singkatnya adalah semacam moralitas
publik yang menjadi pegangan kehidupan orang per orang dalam sebuah bangsa. Khusus pola pikir berkembang (growth mindset) dapat dibangun dan dikembangkan sejak usia dini
secara bertahap dan berkelanjutan. Jika dikaitkan dengan pembangunan karakter bangsa Indonesia, pembangunan dan pengembangan growth mindset tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan bentuk
atau model tertentu
dengan diawali
dari pembentukan jati diri, karakter, kepribadian, jati diri bangsa, wawasan
kebangsaan sampai dengan wawasan nusantara.
Model tersebut dapat divisualisasikan dalam gambar 4.1.
5.
Kesimpulan
Upaya sadar dan terencana secara matang untuk
menanamkan dalam diri warga negara landasan dan nilai-nilai bela negara.
Kementerian Pertahanan sebagai instansi yang menyelenggarakan pendidikan
dan/atau pembinaan kesadaran bela negara, mengklasifikasikan sasaran pembinaan
dalam tiga lingkup yaitu : pendidikan, pekerjaan dan pemukiman. Tugas ini
direalisasikan dalam kerja sama yang erat dengan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, yang khusus mengemban tugas kependidikan bagi seluruh warga negara.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mempunyai Program Pendidikan
Kewarganegaraan di semua tingkat pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai
Pendidikan Tinggi ( pasal 37 Undang Undang R.I. Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang mengamanatkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan
merupakan salah satu kurikulum wajib ). Dalam pendidikan bela negara harus memasukkan konsep jati diri, karakter, kepribadian, jati diri bangsa, wawasan
kebangsaan sampai dengan wawasan nusantara. Maka dari itu perlu pengembangan
pola pikir (growth mindset) yang
dilakukan dengan menggunakan bentuk atau model tertentu
dengan diawali
dari pembentukan jati diri, karakter, kepribadian, jati diri bangsa, wawasan
kebangsaan sampai dengan wawasan nusantara.
6.
Referensi
As’ad, Mohammad. (2000).Psikologi
Industri. Yogyakarta:Liberty.
Bakri, Omar. (1981). Bunga Rampai Sumpah Pemuda, Satu Bahasa:
Bahasa Indonesia., Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Benedict Anderson. (1991).Imagined Community: Reflection on the origin
and spread of Nationalism. London.
Dahl, Robert A. Dillemas of Pluralist Democracy:
Autonomy vs Control. Yale University Press, 1982
Dahlan, Abdul Aziz dkk. (1996).Ensiklopedi Hukum Islam.Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve.
Dweck,
Carol S. (2007). Change Your
Mindset-Change Your Life. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Erik Erikson (1963). Childhood
and Society. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Greenfeld,
L. and D. Chirot. (1994). “Nationalism and Agression”, dalam Theory and Society 23 (1).
Gunawan, Adi W. (2007). The Secret
of Mindset. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Heri Gunawan. (2014). Pendidikan
Karakter Konsep dan Implementasi. Bandung: Alfabeta.
James,
William. Pragmatisme: and Four Essays from The Meaning of Truth. New York:
Meridian Book, 1959.
Kaelan.(2010). Pendidikan
Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Kedourie,E.
(1996). Nationalism.London:
Hutchinson University Library.
No comments: