STRATEGI PERTAHANAN NEGARA DALAM MELINDUNGI NATUNA DI KAWASAN INDO PASIFIK
Oleh Pembina IV/a Hery Yuniarto.S.E.,M.SI (Han)
Latar Belakang Konflik Natuna
Berlokasi
strategis di pusat wilayah maritim dunia, Indonesia merupakan negara besar di
Asia Tenggara. Karena letak geografisnya dan kedekatannya dengan salah satu
jalur perdagangan maritim terpenting yang menghubungkan Samudra Hindia dan
Samudra Pasifik, Indonesia telah menjadi pintu gerbang yang strategis ke
Indo-Pasifik. Meningkatnya perdagangan maritim melalui Selat Malaka, membuat jalur ini menjadi salah satu pintu gerbang yang
paling rentan secara strategis ke Laut
Cina Selatan. Sekitar 79,1 triliun rupiah (US$5,3 triliun) diperdagangkan di
laut setiap tahun, termasuk 17,9 triliun
rupiah (US$1,2 triliun) dengan Amerika Serikat. Diperkirakan 50.000-60.000
kapal melewati Selat Malaka setiap tahun. Keselamatan dan keamanannya, serta
keberlanjutan SLOC, merupakan pertimbangan strategis yang penting, karena
ekonomi regional dan global sangat bergantung pada Selat Malaka. Oleh karena
itu, tanggung jawab untuk memastikan akses ke selat itu sebagian besar berada
di tangan Indonesia.
Momentum
Laut China Selatan dimulai dengan aksi China pada 7 Mei 2019, dan memberikan peta kepada
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengklaim Nine-Dash Line sebagai wilayah kedaulatan China. Tak heran,
lokasinya yang berada di dekat perairan Laut China Selatan telah memicu gelombang
protes dari beberapa negara yang mengklaim berada di kawasan tersebut. Jika ada
klaim dari beberapa negara di sekitar perairan Laut China Selatan, klaim
tersebut akan berganda di perairan tersebut. Terletak di kawasan Asia-Pasifik,
Laut Cina Selatan memiliki nilai
strategis, ekonomi, dan politik yang besar. Selain itu, kawasan tersebut rawan
konflik dan bahkan dapat menimbulkan perang dengan negara-negara yang dilanda
perang. Ketegangan di kawasan Laut China Selatan sering terjadi dan memanas ketika PLA melakukan latihan tempur
di Laut China Selatan, atau lebih tepatnya Kepulauan Paracel, dengan dalih
menampung air dari Laut China Selatan. Wilayah Taiwan, Filipina, Vietnam,
Malaysia, Brunei Darusalaam, dan bahkan
perairan Natuna Indonesia adalah bagian dari wilayah China.
Strategi pertahanan negara dalam melindungi wilayah
Natuna
Diplomasi
Indonesia di tingkat Internasional dan Nasional.
Strategi
pertahanan negara dalam melindungi wilayah Natuna dapat dilaksanakan melalui Soft dan Hard Diplomacy secara terukur. Indonesia merupakan negara non
claimant state, strategi yang dilakukan akan tetap mengacu kepada
tercapainya kesepakatan dengan mengedepankan penyelesaian secara diplomatik. Indonesia
memilih melakukan soft diplomacy atau
diplomasi lunak dalam menangani kasus Natuna. Kawasan tersebut sangat
rentan akan terjadi konflik bahkan bisa memicu perang terbuka terhadap
Negara-negara yang bersengketa. Ketegangan di kawasan LCS sering kali terjadi,
dan bertambah semakin memanas ketika Tentara Pembebasan Rakyat Cina (PLA)
melakukan latihan tempur di LCS tepatnya di Pulau Paracel dengan dalih bahwa
jalur perairan LCS yang masuk wilayah Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan
Brunei Darussalam bahkan perairan Natuna Indonesia adalah masuk wilayah
kedaulatan Cina.
Konflik Laut Cina Selatan (LCS) melibatkan negara besar
antara Amerika serikat dan Cina, ketegangan antara kedua negara jangan membuat kita terprovokasi namun harus tetap waspada.
Ketegangan yang terjadi di Laut Cina Selatan ditandai dengan meningkatnya
kehadiran kapal penangkap ikan dari Vietnam, Malaysia maupun Australia, serta adanya
kapal survey dan kapal perang dari Cina dan Amerika Serikat. LCS
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perubahan tatanan politik dunia
dewasa ini, hal tersebut juga disebabkan oleh adanya persaingan antara konsep
Belt and Road Iniative yang digagas oleh Cina dihadapkan dengan konsep
Indo-Pacific yang diinisiasi oleh Amerika Serikat.
Kebijakan Pemerintah dalam memandang perkembangan yang
terjadi ini, akan menjadi landasan kerja Kogabwilhan I khususnya dibidang
militer dan pertahanan negara sesuai dengan Tugas Pokok Kogabwilhan I. oleh
karena itu prediksi ancaman yang dikaitkan dengan ketegangan di LCS akan
diperoleh dari instansi yang berwenang dalam menganalisa ancaman seperti Bais
TNI dll.
Dalam menghadapi prediksi ancaman di LCS, berpatokan kepada
prinsip bahwa Indonesia merupakan non
claimant state, sehingga langkah dan upaya yang dilakukan tetap akan
mengacu kepada tercapainya kesepakatan melalui Strategi soft diplomacy dengan mengedepankan penyelesaian secara
diplomatik dan strategi hard diplomacy
melalui kehadiran Alutsista secara rutin di wilayah Kogabwilhan I untuk
mendukung kegiatan soft
diplomacy dengan Hard diplomacy dapat dilakukan
melalui upaya-upaya dengan memastikan kehadiran unsur-unsur TNI di Laut Natuna
Utara untuk melaksanakan penegakkan kedaulatan, penegakan hukum dan sekaligus
merupakan bagian dari bentuk diplomasi di wilayah perairan yurisdiksi nasional.
Kesiapan
militer ( TNI AD, AL, AU) dan unsur pendukung lainnya
Upaya kesiapan pembangunan
kekuatan TNI untuk menangkal semua potensi ancaman yang mengganggu kepentingan nasional. Dalam realitasnya, perkembangan lingkungan
strategis saat ini semakin kompleks dan eskalatif di berbagai belahan dunia,
serta menghadirkan berbagai bentuk ancaman terhadap kepentingan nasional.
Pembentukan
satuan baru TNI itu merujuk Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 2019 tentang
Pembentukan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan dan Peningkatan Status 23
Komando Resort Militer Tipe B Menjadi Tipe A. “Kehadiran ancaman itu perlu
diantisipasi dan dicermati dalam menyusun pembangunan kekuatan, pembinaan
kemampuan, dan gelar kekuatan TNI di masa mendatang sehingga dapat bersifat
adaptif,” Pembentukan Kogabwilhan TNI juga memiliki fungsi timbal balik
terhadap kehidupan masyarakat. Di satu sisi keberadaan dan operasional TNI
sangat membutuhkan daya dukung wilayah, sedangkan di sisi lain, keberadaan TNI
diharapkan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut dan kawasan
di sekitarnya. Kogabwilhan TNI juga merupakan representasi konsep kemampuan
interoperabilitas TNI yang saat ini menjadi kebijakan prioritas bagi pimpinan.
Keberadaan satuan tersebut telah diselaraskan dengan program pembangunan
pemerintah Indonesia dengan kemampuan yang dimilikinya dengan membentuk
Kogabwilhan I telah memiliki satuan terintegrasi di Natuna sebagai embrio
lahirnya Satuan TNI Terintegrasi (STT) yang terdiri dari tiga matra untuk
digunakan sebagai penindak awal menghadapi situasi kontijensi.
Dalam kondisi saat ini, peran yang telah dilaksanakan
oleh Kogabwilhan I tetap menjaga kedaulatan NKRI dengan tetap mengintegrasikan
tiga matra untuk menjaga wilayah NKRI dari konflik LCS melalui operasi terpadu,
patroli rutin serta meningkatkan koordinasi dengan satuan di wilayah kerja
Kogabwilhan I terdapat Komando Utama Operasi (Kotamaops) TNI yaitu: 6 Kodam TNI AD, 1
Koarmada TNI AL dan Koopsau TNI AU , dalam keadaan damai Kotamaops tersebut
tidak langsung di bawah kendali Kogabwilhan I, tetapi sifatnya berkoordinasi.
Semua kegiatan di wilayah kerja selalu melaporkan Kogabwilhan I, tujuannya
adalah satu secara komando dan yang kedua untuk meng-update perkembangan
situasi dan kondisi yang ada di wilayah kerjanya. Tatkala eskalasi meningkat dan
diindikasikan akan genting maka akan diambil alih pimpinan tertinggi yakni
Panglima TNI.
Menjaga
stabilitas keamanan wilayah terdampak
Pemerintah Indonesia juga melakukan upaya Show of Force dimana pasukan TNI
Indonesia siap menunjukkan kekuatan militernya dan menegaskan terhadap china jika pemerintah
Indonesia serius dalam menjaga kedaulatan wilayahnya. Pada April 2016, TNI
Angkatan Laut menggelar latihan militer gabungan dengan Angkatan Laut Amerika
Serikat (US Navy) di Batam yang berlokasi sekitar 300 mil dari Natuna. Latihan
tersebut melibatkan 88 personel militer beserta pesawat pengawas dan pesawat
patroli maritim yang dapat mendeteksi kapal selam. Salah satu yang dikerahkan
adalah pesawat mata-mata P-3 Orion milik AS keluaran Lockheed Martin yang dapat
menghadang kapal laut dan kapal selam. Dua bulan kemudian, Juni, TNI Angkatan
Udara menyatakan berencana menggelar operasi udara di langit Natuna. Mereka
terus memantau ketat perkembangan sengketa di Laut China Selatan. Jika terjadi
eskalasi ketegangan, operasi gabungan TNI AL, AU, dan Angkatan Darat akan
dilakukan yang melibatkan combine semua kekuatan tri
matra
dari matra darat, matra laut, maupun matra udara di Laut Natuna Utara dan Patroli Udara dalam rangka mengamankan
kepentingan nasional di wilayah perairan ZEEI. Unsur-unsur patroli laut
Kogabwilhan I terus melakukan upaya pengusiran kapal-kapal ikan Cina yang
dikawal oleh kapal Coast Guard Cina (CGC)
Menjaga
stabilitas hubungan baik Indonesia China
Bahwa pemerintah Cina dan Indonesia sepakat tidak ada
sengketa wilayah di Natuna. mengatakan pemerintah Cina, sama dengan Indonesia,
tidakada dispute wilayah. Cina dan Indonesia meredakan pertikaian soal
sengketa Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Perairan Natuna karena kedua negara
berusaha menghindari ketegangan keamanan regional. Hal tersebut adalah sesuatu
yang tidak diharapkan terjadi baik oleh Indonesia maupun China. Indonesia
dianggap sebagai negara besar yang penting di Asean sehingga mau nggak mau
ketegangan dengan Indonesia harus dihindari untuk menjaga stabilitas kawasan.
Sementara itu, Indonesia juga dinilai memiliki kepentingan yang lebih besar
terkait hubungan bilateralnya dengan China, sehingga wajar jika pemerintah
lebih memilih jalur diplomatik ketimbang kontroversi.
Menjaga kepentingan
Indonesia
Sikap pemerintah Indonesia dipengaruhi berbagai
faktor. Salah satu faktor tersebut adalah kekhawatiran Cina atas meningkatnya
sentimen anti-Cina di Indonesia jika persoalan Natuna berlarut-larut. Bahwa
Cina masih membutuhkan Indonesia sebagai jembatan antara Cina dengan
negara-negara di Asia Tenggara yang sama-sama memiliki klaim wilayah di Laut
Cina Selatan, seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei. Faktor lain atas
melunaknya retorika kedua negara terkait insiden di Perairan Natuna adalah
hubungan bilateral keduanya secara umum tidak bermasalah.
Kesimpulan
dan Saran
Indonesia harus konsisten menjalankan Politik Luar
Negrinya dengan konsisten mengambil sikap terhadap Natuna Utara berdasarkan
UNCLOS 82. Indonesia harus melakukan upaya memperkuat kemampuan militernya baik
dari segi alutsista maupun SDM-nya. Indonesia harus Melakukan Patroli rutin di
Natuna Utara serta menunjukan kehadirannya di Perairan Natuna Utara. Indonesia
harus tetap menjaga hubungan Internasionalnya dengan mengutamakan kepentingan
Nasionalnya dengan aktif melakukan Soft & Hard Diplomasi. Pemerintah
Indonesia harus konsisten tidak akan masuk dalam pusaran perseteruan Amerika-Cina
di Natuna. Indonesia sebagai negara yang berdaulat harus membuktikan kehadiran
dan penguasaanya terhadap perairan Natuna Utara serta harus membangun kekuatan
ekonomi dan militernya.
Referensi
Alsabbah, M. Y. A., & Ibrahim, H. I. (2013).
Employee competence (soft and hard ) outcome of recruitment and selection process.
American Journal of Economic, 3, 67–73. https://doi.or
g/10.5923/c.economics.201301.12
ASH. (2015). MK batalk an UU sumber daya air.
Hukumonline.com; Hukum Online. https://www.hukumonline.com/ber
ita/baca/lt54e4bd8e5dc 0a/mk-bata lkan- uu-sumber-daya-air
Barnard, A., Schurink, W., & Beer, M. De. (2005).
A conceptual framework of integrity. Empirical Research, 34(2), 40–49.
Bramasta, D. B. (2019). Resmi dilantik berik ut pidato
lengkap Presiden Jokowi (hal.1–5).Kompas.com. https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/20/194700065/resmi-dilantik-
berikut- pidato-lengkap-pres iden- jokow i? page=a ll
Chen, G., & Mathieu, J. E. (2008). Goal
orientation dispositions and performance trajectories: The roles of
supplementary and complementary situational inducements. Organizational
Behavior and Human Decision Processes , 106(1), 21–38. https://doi.org/10.
1016/j. obhdp.2007. 11.001
Davis, R. S., & Stazyk, E. C. (2014). Developing
and testing a new goal taxonomy: Accounting for the complexity of ambiguity and
politicalsupport. Journal of Public Administration Research and Theory , 25(3),
751–775. https://doi.or g/10.1093/jopart/muu015
Undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, 42
(2004).
Undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan
peraturan perundang - undangan, 1 (2011).
Undang-undang nomor 5 tahun 2014 tentang aparatur
sipil negara, 66 (2014).
http://ditjenpp.ke menkumham.go. id/htn-dan-
puu/231-penafs iran-unda ng- undang-dari-perspektif-penyelenggara-pe
merintahan. html
Peraturan Kepala BKN nomor 7 tahun 2013 tentang
pedoman penyusunan standar kompetensi manajerial pegawai negeri sipil, 45
(2013).
Langille, L., Romanow, P., Bull, A., & Williams ,
P. (2008). Building collabora tive capacity for research and influencing
policy: The rural communities impacting policy project
Mehta, A., Feild, H., Armenakis, A., & Mehta, N.
(2009). Team goal orientation and team performance: The mediating role of team
planning. Journal of Management,
35(4), 1026–1046. https://doi.or
g/10.1177/0149206308326773
Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 12 tahun 2013
tentang pedoman reformas i birokrasi, 99 (2013).
Peraturan Menteri PAN dan RB nomor 38 tahun 2017
tentang standar kompetensi jabata n aparatur sipil negara, 108 (2017).
Seate, B. M., Raborale, & Chinomona, R. (2016). The
relative importance of manageria l competencies for predicting the perceived
job performance of Broad-Based Black Economic Empowerment verification
practitioners. Human Resource Management, 1–11.
Stufflebeam, D. L. (2015). CIPP evaluation model
checklist: A tool for applying the CIPP modelto assess projects and Programs.
In Evaluation Center. Western Michiga University.
Zawacki-Richter, O., Hanft, A., & Bäcker, E. M.
(2011). Validation of competencies in e-portfolios: A qualitative analysis.
International Review of Research in Open and Distance Learning, 12(1), 42–60.
https://doi.org/10. 19173/irrodl.v12i1.893
https://www.indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/ekonomi/menata-langkah-hadapi-tantangan-geostrategis
No comments: