Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia Namun Masih Menjadi Pengimpor Garam

  Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia Namun Masih Menjadi Pengimpor Garam 

  Oleh  : Hery Yuniarto, S.E., M.Si (Han), Pembina IV/a
  Jabatan : APN Madya Setditjen Pothan
          
           Posisi Indonesia yang strategis terletak diantara dua benua, benua Asia dan Australia, dan dua samudera, samudera Pasifik dan Hindia menjadikan Indonesia disebut sebagai poros maritim dunia. Letak strategis ini selain memberikan banyak manfaat bagi Indonesia, namun juga menimbulkan ancaman dan tantangan. Lokasi Indonesia menghubungkan antara Eropa, Timur Tengah dan Asia Selatan (India) dengan Asia Timur (Jepang dan China) melalui wilayah maritim Indonesia.

Dengan lokasi strategis ini, banyak kapal dagang yang melintas di perairan Indonesia, terutama di Selat Malaka. Indonesia menjadi akses yang mudah untuk jalur perdagangan dengan negara lain. Hasil produksi Indonesia mudah dipasarkan dan Indonesia juga mudah melakukan impor barang dari negara lain. Lokasi di antara dua samudera juga membuat Indonesia menjadi pertemuan arus. Arus laut ini membawa banyak mikroorganisme laut yang menjadi makanan ikan. Akibatnya ikan beraneka jenis bisa ditemukan di Indonesia dan menjadi penopang kegiatan perikanan. [1]

 Selain dari segi jalur perdagangan dan perikanan, secara geografis Indonesia kaya akan sumber mineral, Indonesia memiliki potensi alam sebagai penghasil garam. Indonesia juga merupakan salah satu negara maritim terbesar dunia dengan luas laut 70 persen dari total luas wilayah Indonesia dan memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia yaitu sepanjang 95.181 km. Namun dari lahan pesisir Indonesia yang ada, tidak seluruhnya dapat digunakan sebagai lahan tambak garam. Berdasarkan Balitbang KKP (2012) hanya 34 ribu hektar lahan pesisir di Indonesia yang memenuhi kriteria teknis untuk digunakan sebagai lahan tambak garam. Dari luasan tersebut, hingga saat ini baru sekitar 60 persen yang telah dimanfaatkan sebagai lahan tambak garam produktif.  [2]

Garam memiliki peran strategis yaitu sebagai bahan pokok bagi kebutuhan konsumsi dan juga merupakan bahan baku berbagai industri. Kebutuhan konsumsi antara lain digunakan untuk konsumsi rumah tangga, industri makanan, industri minyak goreng, industri pengasinan dan pengawetan ikan, sedangkan kebutuhan industri antara lain untuk industri perminyakan, tekstil dan penyamakan kulit, industri pakan ternak, industri chlor alkali (CAP), industri farmasi (Deperin 2009).

Terwujudnya swasembada garam nasional yang berkelanjutan mengandung arti penting bagi ketahanan nasional Indonesia. Dengan tercapainya swasembada tentu akan menghemat pengeluaran negara, membangkitkan geliat usaha garam lokal dan bahkan dapat menjadi sumber devisa negara. Tercapainya swasembada garam juga akan mendorong tumbuh dan berkembangnya sektor industri nasional dan mendukung pembangunan berkelanjutan.

Namun ironinya indonesia sampai saat ini masih menjadi pengimpor garam dan belum mampu swasembada garam. Sekjen Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia, Cucu Sutara, mengatakan produksi garam nasional pada 2016 hanya mencapai 144.000 ton dari kebutuhan sebanyak 4,1 juta ton. Adapun dari kebutuhan 4,1 juta ton, 780.000 ton untuk konsumsi publik, sedangkan sisanya untuk keperluan industri. Jika cuaca mendukung, produksi garam Indonesia bisa mencapai 1,9 juta ton per tahun.[3]

Faktor penyebab produksi garam masih minim diantaranya adalah faktor cuaca yang tentunya berkorelasi dengan perubahan iklim, hujan dan La Nina, proses pembuatan garam yang masih tradisional juga merupakan faktor utama minimnya produksi garam di Indonesia. Pembuatan garam secara tradisional masih menggunakan alat sederhana seperti pengeruk kayu dan kincir angin dan mengandalkan matahari sebagai sumber panas. Rata rata satu hektare tambak garam hanya bisa menghasilkan 70 ton garam, itupun hanya apabila cuaca bagus.

Perhatian pemerintah terhadap petani garam sangat dibutuhkan karena impor tidak dapat terus dijadikan jalan pintas tanpa solusi jangka panjang. Keberpihakan terhadap petani garam selama ini belum menjadi prioritas utama. Rantai penyediaan garam juga begitu panjang menyebabkan petani kurang merasakan keuntungan besar ketika harga garam naik. Data dari KIARA (koalisi rakyat untuk keadilan perikanan) dalam lima tahun menunjukkan jumlah petani garam di Indonesia menurun drastis 30.668 jiwa pada tahun 2014 menjadi 21.050 jiwa di 2018. Artinya, ada sekitar 8.400 petani garam yang alih profesi.[4] Sebagian buruh kasar atau pekerjaan informal lainnya bermigrasi dari desa ke kota untuk mengadu nasib. Ditinjau dari perspektif industri impor garam juga lebih efisien karena rantai pasokannya ringkas dibanding dengan membeli garam produksi lokal, ada tujuh mata rantai dan setiap mata rantai memiliki biaya sehingga ketika sampai ke tangan konsumen harga garam menjadi lebih mahal.

Indonesia harus memiliki skema dan strategi yang bagus dalam rangka mewujudkan swasembada garam di Indonesia. Masalah pertama yang harus dibenahi adalah tentang kualitas garam. Banyak kualitas hasil garam di indonesia yang masih kurang dari standar garam internasional. Kedua adalah terkait dengan biaya produksi, tingginya harga garam dipicu oleh proses produksi yang masih manual dan penggunaan lahan musiman. Kondisi ini menyebabkan lamanya waktu produksi dan kuantitas produksi yang rendah. Faktor iklim di Indonesia yang memiliki kelembaban tinggi bisa mencapai 80% hal ini membuat produktivitas petani garam tradisional di tambak garam berjalan lambat, Belum lagi mempertimbangkan perubahan iklim, yang membuat hujan mendadak bisa terjadi berhari-hari di tengah kemarau sehingga penguapan di tambak garam sama sekali gagal. [5]

Solusi untuk peningkatan produktivitas garam di Indonesia dapat diambil dari akar permasalahan tersebut. Perlu adanya adaptasi petani garam terkait dengan iklim di Indonesia dan perubahan iklim dunia. Rantai pasok garam juga harus diperpendek untuk kesejahteraan petani garam, selain itu perubahan teknologi pembuatan garam juga perlu dicanangkan dari yang mulanya tradisional ke modern untuk peningkatan kualitas maupun kuantitas garam di Indonesia dengan memanfaatkan Indonesia sebagai negara maritim yang kaya akan mineral sehingga mampu meningkatkan produktivitas garam dalam rangka mendukung pembangunan yang berkelanjutan. 



[1] Rustam, I. (2016). Tantangan ALKI dalam Mewujudkan Cita‐cita Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Indonesian Perspective, 1(1), 1-21.

[2] Rochwulaningsih, Y. (2013). Tata Niaga Garam Rakyat dalam Kajian Struktural. Citra Lekha17(1), 59-66.

[4] Hayyi, A. (2015). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Pendapatan Petani Garam (Studi Kausal Pada Petani Garam Desa Astanamukti Kecamatan Pangenan Kabupaten Cirebon) (Doctoral dissertation, IAIN Syekh Nurjati Cirebon).

Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia Namun Masih Menjadi Pengimpor Garam Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia Namun Masih Menjadi Pengimpor Garam Reviewed by Manajemen Bencana untuk Keamanan Nasional on April 10, 2022 Rating: 5

No comments:

Gallery

Powered by Blogger.